Sabtu, 23 April 2016

Mujizat apa Mujizat?

(Ini adalah artikel yang kutulis dan postingkan di blog pribadiku [tahun 2009], sebuah blog yang "nyaris hilang", soalnya password-nya udah lupa dan hingga saat ini aku masih belum bisa masuk lagi sebagai 'user' :'( )

Hari-hari ini begitu gampangnya orang-orang ngomong tentang mujizat. Mujizat (atau menyebut dan membicarakan tentangnya) menjadi trend di mana-mana sekarang ini. Sedikit-sedikit mujizat; sedikit-sedikit mujizat (padahal, yang sungguh-sungguh merupakan mujizat itu nyatanya sangatlah sedikit yang betul-betul terjadi!). Sendal jepit yang sudah lama nggak kelihatan, eh, tiba-tiba nongol tepat pada saat yang dibutuhkan... itu katanya mujizat. Sembuh dari penyakit tertentu (padahal mengkonsumsi obat juga atau mendapat dorongan/motivasi dari kata-kata sugesti yang tertentu), juga buru-buru di-klaim sebagai mujizat. Saya cuma mau kasih peringatan begini: Kalau yang kita sebut sebagai mujizat itu sudah "digembar-gemborkan" atau sudah "diobral" dengan sedemikian rupa, apakah hal itu nantinya masih ada maknanya?!

Jadi, saya bukanlah seorang yang anti terhadap mujizat. Dengan mengatakan hal yang di atas itu tadi, saya justru mem-posisi-kan diri saya sebagai seorang pembela untuk mujizat. Nah, sebagai seorang pembela yang baik (dan benar) untuk mujizat itu, saya (dan setiap orang yang juga rindu atau mengaku sebagai pembela mujizat) akan selalu:

  • Menolak atau melawan setiap usaha-usaha (upaya-upaya) yang berlebih-lebihan dan yang membabi-buta untuk menyebut atau meng-klaim hal ini dan hal itu, secara terburu-buru dan sembarangan saja, sebagai mujizat. (Sebab, upaya-upaya yang seperti itu hanyalah akan menjadi suatu promosi yang buruk untuk mujizat itu sendiri nantinya!).
  • Mengenali mujizat dan memahami konsep mengenai mujizat itu dengan tepat dan akurat. Hal ini sangatlah penting, sebab dengan demikian kita tidak saja dapat dengan mantap meng-counter orang-orang yang sepertinya anti terhadap mujizat, tetapi juga supaya kita pun bisa dengan jeli memilah atau memisahkan mujizat yang sesungguhnya dari hal-hal yang hanyalah kelihatannya saja seperti suatu mujizat.

Karena itu, marilah kita sekarang sejenak memperhatikan mengenai apakah sebenarnya mujizat itu? Yaitu, dalam rangka untuk mengenali mujizat dan memahami konsep mengenai mujizat itu dengan akurat.

Pada umumnya, orang-orang yang sangat antusias dalam membicarakan mengenai mujizat itu sekarang ini tidak memulainya dengan mencari tahu terlebih dahulu mengenai: Apa sesungguhnya mujizat itu? Mereka itu secara langsung saja mengatakan bahwa mujizat telah terjadi di sini, mujizat telah terjadi di sana. Sehingga, seolah-olah hanya dengan menyebut suatu hal itu sebagai mujizat, maka hal itu sudah menjadi mujizat. Karena itu, sebagai para pembela mujizat yang benar, kita harus menjadi jelas dan mantap dulu mengenai hal yang satu ini, yaitu: Apa sebenarnya mujizat itu?

Dari semua definisi yang pernah dibuat selama ini mengenai mujizat, satu hal yang jelas dan yang tidak dapat dikesampingkan adalah mengenai keterlibatan kuasa yang supranatural di dalamnya. Karena itu, secara sederhana, mujizat itu bisa kita buat definisinya di sini sebagai suatu hal atau peristiwa yang hanya bisa terjadi dengan campur tangan dari kuasa yang supranatural.

Sekarang, pertanyaannya begini: Apakah setiap hal atau peristiwa yang "ajaib" bagi kita atau yang tidak/belum bisa kita jelaskan secara masuk akal sekarang ini adalah atau harus kita sebut sebagai telah terjadi karena campur tangan dari kuasa yang supranatural? Kita seharusnya menjawabnya dengan "tidak". Mengapa? Sebab, begitu banyaknya hal-hal atau peristiwa-peristiwa yang dulu kita atau orang-orang anggap sebagai "keajaiban" atau "tidak mungkin dilakukan oleh manusia" atau "hanya Allah yang bisa melakukannya", ternyata akhirnya diketahui bahwa semuanya itu tidaklah seajaib yang dikira oleh orang-orang sebelumnya.

Sebagai contohnya, kemajuan dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi di masa kini, telah "membatalkan" amat sangat banyak hal-hal atau peristiwa-peristiwa yang dipercayai orang-orang pada zaman dahulu sebagai "mujizat". Hal itu seharusnya menjadi pelajaran yang amat berharga dan juga suatu peringatan yang keras bagi kita semua sekarang ini, yaitu agar kita sekarang ini tidak dengan cepat sekali atau secara gegabah menyebut suatu hal atau peristiwa yang tertentu itu sebagai mujizat.

Perlu juga saya tambahkan di sini bahwa dengan menjadi sangat cenderung menyebut suatu hal atau peristiwa itu sebagai mujizat, hal itu sama sekali bukanlah tindakan yang memuliakan Allah (apa lagi, menyenangkan Allah!). Sebab, jika ternyata Allah tidak melakukan hal atau peristiwa tersebut, tetapi kita mengatakan bahwa Allah melakukannya, berarti:

  1. Kita sedang atau telah melakukan sesuatu yang bodoh, atau
  2. Kita sedang atau telah melakukan suatu kebohongan (dusta). 

Dan, satu hal lagi, dengan menjadi sangat cenderung atau sedemikian mudah/gampangnya kita mempercayai suatu hal atau peristiwa itu sebagai mujizat, hal itu bukanlah menunjukkaan (atau menjadikan) kita sebagai orang -orang yang beriman atau memiliki iman yang besar. Tetapi, sesungguhnyalah hal atau kecenderungan yang demikian itu hanya menjadikan kita sebagai orang-orang yang "gegabah dalam beriman". Sebab, menjadi "terlalu mudah percaya" sama sekali bukanlah iman, hal itu hanyalah keluguan (yang cenderung pada kebodohan dan, karenanya, sangat rentan untuk jatuh ke dalam penipuan!).

Jadi, apakah kriterianya supaya suatu hal atau peristiwa itu bisa, secara pantas, kita sebut sebagai mujizat? Untuk menjadi mujizat, suatu hal atau peristiwa itu haruslah terjadi dengan campur tangan dari kuasa yang supranatural (teristimewa, kuasa Allah). Apakah ukuran atau patokannya untuk itu? Apakah, misalnya, karena hal atau peristiwa itu terjadi di antara orang-orang Kristen, yang juga selama ini diketahui bahwa mereka itu memang sangat setia beribadah dan menjalani kehidupan yang saleh? Atau, karena di dalamnya melibatkan seorang tertentu yang selama ini sudah dikenal sebagai seorang yang mendapat karunia mengadakan mujizat? Atau lagi, karena sebelumnya yang dilakukan adalah hanya dengan "mengikuti" sebagaimana yang dikatakan di dalam Alkitab saja (mis: Yak 5:14, Mrk 16:17-18)? Jelaslah, bahwa hal-hal yang bersifat sangat subyektif itu, bukanlah yang dimaksud sebagai ukuran atau patokan yang dimaksudkan itu tadi.

Jadi, apakah yang menjadi patokannya? Memang, harus diakui bahwa tidak mungkinlah untuk menjawab soal ini secara tuntas (terlebih lagi di dalam tulisan yang sesingkat ini). Tetapi, ada satu hal yang bisa kita jadikan sebagai sebuah "pengangan yang aman" di dalam "kawasan" yang "berkabut" ini, yaitu: Terimalah suatu hal atau peristiwa itu sebagai mujizat hanya kalau hal atau peristiwa yang terjadi itu sama sekali tidak mungkin untuk dilakukan oleh manusia. Itu berarti, kalau hal atau peristiwa yang tertentu itu masih mungkin dilakukan (dan direkayasa) oleh manusia, kita tidak boleh sama sekali untuk menerimanya sebagai mujizat.

Dalam hal ini perlu juga untuk mempertimbangkan kekuatan jiwa manusia itu. Banyak sekali orang yang tidak menyadari (dan tidak mau tahu) mengenai hal ini, sehingga hal-hal yang hanyalah merupakan hasil dari kekuatan jiwa manusia itu, ditangkap atau disebut sebagai manifestasi dari kuasa yang supranatural. Sebutlah, sebagai contoh, Ponari, sang "dukun cilik" yang pernah menghebohkan itu. Kalau Anda tanya kepada saya, "Apakah memang ada orang yang disembuhkan ketika datang dan minum air yang dicelupin dengan 'batu sakti' dari Ponari itu?" Jawaban saya: Pastilah ada yang sembuh! Mengapa? Sebab, kalau tidak, maka tidak mungkinlah ribuan orang mau datang dengan berdesak-desakan ke sana.

Tetapi, apakah ada kuasa supranatural yang terlibat di sana (baik dari Allah maupun dari Iblis)? Sama sekali tidak! Hal itu, secara tepatnya, haruslah diterangkan hanya sebagai terkumpulnya kekuatan jiwa dari orang-orang yang hadir di sana, dengan "batu sakti" itu (yang sebenarnya cuma batu biasa saja!) sebagai titik temunya, sehingga menghasilkan daya sugesti yang cukup kuat untuk menyembuhkan penyakit-penyakit tertentu yang diderita oleh orang-orang yang hadir di sana. (Note: kata sugesti adalah kepunyaan dunia psikologi, bukan kepunyaan dunia mistis/mistik!).

Perhatikanlah bahwa saya memberi penekanan pada frasa "penyakit-penyakit tertentu" di sana. Sangat penting untuk memperhatikan hal ini, sebab di sinilah kita bisa melihat dengan nyata perbedaan antara kekuatan jiwa dan kuasa supranatural itu. Kalau yang bekerja hanyalah kekuatan jiwa, maka kesembuhan yang terjadi terbatas hanya pada penyakit-penyakit tertentu saja, yaitu yang ada kaitannya dengan keadaan kejiwaan dari orang-orang yang bersangkutan. Penyakit-penyakit itu biasa dikenal sebagai penyakit yang bersifat psiko-somatis atau yang disebut dengan "penyakit fungsional" (yang dilawankan dengan "penyakit organis"). Hal itu, misalnya: Gangguan lambung/maag, kelumpuhan atau kebutaan yang terjadi karena mengalami stress. Tetapi, tidak akan pernah terjadi ,dengan kekuatan jiwa itu, orang yang sudah lumpuh dari sejak lahirnya kemudian bisa berjalan atau orang yang sudah buta sejak lahirnya bisa melihat. Nah, justru hal-hal yang tidak mungkin dilakukan dengan kekuatan jiwa itulah yang merupakan hasil yang khas dari pekerjaan kuasa yang supranatural.

Terus terang, sebenarnya, saya sendiri, sejak terlibat dalam pelayan Kristen sekitar 20 tahun yang lalu, berada di lingkungan gereja dan yayasan yang beraliran Pentakosta-Kharismatik (bahkan, selama sekitar 10 tahun saya menjadi pendeta yang menggembalakan jemaat di bawah sinode gereja Kharismatik yang terbesar di negeri ini). Tetapi, saya harus mengatakan di sini bahwa, dari apa yang saya amati selama ini, di dalam kebaktian-kebaktian dan dari acara-acara yang lainnya (termasuk, tentunya, KKR-KKR yang besar maupun kecil) mengenai hal-hal atau peristiwa-peristiwa yang di-klaim atau disaksikan sebagai mujizat, sesungguhnya hanyalah masih berada di dalam kategori yang saya sebut di atas tadi sebagai hasil dari pekerjaan "kekuatan jiwa" belaka. (Saya bisa memahami bahwa pernyataan saya ini sangat tidak dusukai, khususnya, oleh orang-orang yang pernah mengalami sendiri atau menyaksikan sendiri orang-orang tertentu benar-benar sudah mengalami "mujizat-mujizat" tersebut, sebab saya sendiri pun pernah berada dalam posisi yang seperti itu!).

Mengapa saya berkata demikian? Sebab, dari semua laporan atau kesaksian-kesaksian mengenai mujizat itu (yang bisa diverifikasi), tidak satu pun saya dapati (khususnya dalam soal kesembuhan) yang menyangkut kesembuhan dari penyakit yang "organis". (Mungkin perlu dijadikan sebagai catatan: Kalau soal bikin orang "tumbang-tumbang" atau "rebah dalam Roh", "kesembuhan batin", dan "mengusir roh-roh jahat", bagi lumayan banyak orang Kristen di Medan, saya sempat menjadi gurunya. Tetapi, sang guru itu kini sudah insaf, bahwa semuanya itu hanyalah bekerja secara kejiwaan belaka!).

http://juliustarigan.blogspot.com/2009/12/mujizat-apa-mujizat.html#more

Jumat, 22 April 2016

Pandangan Keselamatan yang Saya Anut

(Apakah Keselamatan Kristen Mencakup Hal2 Jasmani-Materi-Alami atau Tidak?)

Nampaknya saya perlu membuat menjadi jelas mengenai apa yang menjadi pandangan saya tentang keselamatan (karena kelihatannya sudah ada sebagian orang yang membuat kesimpulan mereka sendiri yang keliru tentangnya). Sejujurnya saya memang memiliki pandangan yang berbeda tentang keselamatan (khususnya dengan sebagian teman yang masih berpegang pada paham keselamatan dari kalangan Kharismatik, khususnya lagi yang mengadopsi pengajaran dari word of faith movement dan prosperity gospel--entah secara sadar atau tidak!).

Atau, kalau menggunakan bahasa yang blak2-an saja, saya memang berpandangan bahwa keselamatan yang dibicarakan di dalam Injil hanya terkait dengan soal2 yang menyangkut hidup kerohanian kita saja, tidak mencakup soal2 kehidupan umum (jasmani-materi-alami) kita.

Tentang hal itu, saya harap sudah menjadi clear kepada semua orang (yaitu bahwa saya memang berpandangan yang demikian itu). Tapi janganlah kemudian ditarik kesimpulan dari situ, sehingga dipersepsikan seolah-olah saya berpandangan bahwa Tuhan sama sekali tidak berurusan dengan soal2 kehidupan umum kita (hal2 jasmani dan materi). Itu haruslah dilihat sebagai dua hal yang berbeda, tidak boleh dicampuradukkan. Sebab mengatakan keselamatan hanya terkait dengan soal2 yang menyangkut hidup kerohanian kita saja, tidak mencakup soal2 kehidupan umum (jasmani-materi-alami) tidaklah sama dengan mengatakan Tuhan sama sekali tidak berurusan dengan soal2 kehidupan umum kita (hal2 jasmani-materi-alami). Tentu saja saya percaya bahwa Tuhan juga peduli (dan mengurus) untuk soal2 kehidupan umum (jasmani-materi-alami) kita. Tapi perbedaannya akan terletak pada soal melihat cara yang ditempuh oleh Tuhan dalam "mengurus" hal2 itu (baik hal2 jasmani-materi-alaminya maupun hal2 rohani-supra alaminya).

Menurut pandangan yang saya anut, cara Tuhan dalam mengurus kedua hal itu (hal2 jasmani-materi-alami dan hal2 rohani-supra alami) tidaklah sama. Atau, dengan kata lain, Tuhan tidak membuat kedua hal2 itu menjadi satu paket (=1 paket keselamatan yang di dalamnya terdiri dari dua bagian: hal2 yang jasmani-materi-alami dan hal2 yang rohani-supra alami).


DASAR YANG KELIRU/LEMAH DALAM MEMBANGUN AJARAN KEKRISTENAN

Orang yang mendukung pandangan bahwa keselamatan itu mencakup dua aspek di dalamnya (yaitu hal2 rohani-supra alami dan juga hal2 jasmani-materi-alami) sering mengambil "dukungan Alkitab" untuk pandangan mereka itu dari kitab2 Injil. Itu adalah sebuah dasar yang rapuh untuk membangun sebuah pandangan (konsep, ajaran) dalam Kekristenan.

Mengapa? Apakah saya mau mengatakan bahwa kitab2 Injil adalah kurang kredibel atau tidak/kurang diilhami oleh Roh Kudus?

Bukan begitu. Hanya saja, apa yang terdapat di dalam kitab2 Injil itu pada umumnya adalah masih merupakan "bahan-bahan mentah" atau yang belum terkonsepkan dengan baik (menjadi ajaran2--yang murni Kristen).

Dan, jangan lupa juga bahwa di kitab2 Injil itu ada (lebih banyak) bahan2 yang sesungguhnya diperuntukkan bagi orang2 luar (orang2 Yahudi pada masa itu)--bukan untuk kita, orang2 Kristen. Dan akan diperlukan tingkat ke-ahli-an tertentu untuk seseorang bisa, dengan pantas, melakukan pemilah-milahan atasnya (mana2 yang hanya untuk orang Yahudi di masa itu, dan mana2 pula yang berlaku juga untuk kita sekarang ini).


DASAR YANG LEBIH BAIK

Di dalam Surat2 Paulus-lah yang terutama bisa kita temukan ajaran2 Kekristenan itu secara sudah (lebih) terkonsepkan dengan baik. Karena itulah saya menjadikan surat2 Paulus sebagai sumber utama untuk membangun/menyusun ajaran2 Kekristenan.

Berikut ini saya akan bagikan 3 hal penting dari surat2 Paulus itu sehubungan dengan topik pembicaraan kita di sini (yaitu: Apakah keselamatan Kristen itu mencakup juga soal2 jasmani-materi-alami?).

1. Di semua suratnya Paulus tidak pernah memasukkan soal2 jasmani-materi-alami ke dalam keselamatan Kristen.

Saya senang sekali kalau ada orang, siapa saja, yang bisa menunjukkan dari surat2 Paulus sesuatu yang mengatakan bahwa Paulus meyakini/mengajarkan hal2 jasmani-materi-alami itu tercakup di dalam keselamatan Kristen. Silahkan saja dibagikan di sini, ya... kalau sekiranya Anda menemukan hal yang seperti itu... (walaupun, sekali lagi, saya tidak yakin kalau hal yang seperti itu ada!)

2. Paulus hanya memasukkan soal2 jasmani-materi-alami itu ke dalam cakupan pelayanan yang bergerak dalam karunia2 Roh.

Dengan karunia2 Roh ada berbagai hal--ajaib atau supra-alami--yang bisa terjadi (dimanifestasikan) di alam/area jasmani-materi-alami. Setidaknya ada 9 macam karunia2 Roh yang didaftarkan oleh Paulus di 1 Korintus 12:8-10. Kita ambil saja satu di antaranya sebagai contoh, yaitu karunia untuk menyembuhkan. Dengan adanya karunia yang satu ini maka orang2 yang mengidap/menderita sakit-penyakit akan bisa mengalami penyembuhan oleh kuasa Allah (melalui orang2 percaya, yang diberi/dipakai oleh Allah dalam karunia ini).

Tapi sekalipun demikian, jelaslah bahwa adanya karunia penyembuhan ini tidak bisa dijadikan sebagai sebuah dukungan/pembuktian bahwa Paulus mengajarkan hal2 jasmani-materi-alami itu tercakup ke dalam keselamatan Kristen. Mengapa? Sebab kesembuhan2 yang tejadi melalui adanya karunia penyembuhan itu tidaklah bersifat merata/menyeluruh kepada semua orang percaya (yang menderita sakit-penyakit). Padahal harusnya, kalau memang hal2 jasmani-materi-alami itu tercakup juga dalam keselamatan, hal yang demikian itulah yang terjadi, yaitu semua orang Kristen yang mengidap sakit-penyakit akan secara langsung mengalami kesembuhan pada ketika mereka menjadi orang percaya (sama seperti semua kita sudah secara langsung diampuni, dibenarkan, dan dijadikan anak2 Allah pada saat kita percaya kepada Yesus).

3. Malahan di dalam surat Roma Paulus pernah membuat pernyataan yang dengan tegas menolak/menyangkal keterkaitan antara soal2 jasmani-materi-alamiah itu dengan keselamatan. Mari kita periksa pernyataannya itu....
"Kerajaan Allah bukan soal makanan dan minuman, tapi  soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus." (Roma 14:17)
Tentunya sudah jelas bahwa Kerajaan Allah (KA) adalah identik dengan keselamatan (diselamatkan= masuk ke dalam KA atau menjadi warga dari KA). Nah, di sini Paulus memberikan contoh-contoh untuk menjelaskan mengenai apakah sesungguhnya KA itu, secara negatif dan positif (dengan rumusan: KA bukanlah soal.... tapi soal....)
  • KA bukan soal: "Makanan dan minuman"--Itu adalah hal2 yang (bersifat) jasmani-materi-alami
  • Tapi soal: "Kebenaran, damai sejahtera, dan sukacita oleh Roh Kudus"--Itu adalah hal2 yang (bersifat) rohani-supra alami. 

Jadi kesimpulannya, Kerajaan Allah (=keselamatan) itu hanya berisikan (atau berurusan dengan) hal2 yang (bersifat) rohani-supra alami saja, dan bukan (atau tidak termasuk) hal2 (yang bersifat) jasmani-materi-alami.


ORA ET LABORA: PRINSIP UNTUK MENGURUS HAL2 YANG JASMANI-MATERI-ALAMI

Tentu akan timbul pertanyaan: Kalau di dalam keselamatan kita itu tidak tercakup hal2 yang bersifat jasmani-materi-alami, apakah hal itu berarti Tuhan membiarkan kita untuk mengurusnya sendiri saja? Tentunya tidak demikian. Seperti yang sudah saya singgung di atas, Tuhan masih tetap berkenan untuk mengurus hal2 jasmani-materi-alami di dalam kehidupan kita, tapi hal itu dilakukan-Nya dengan cara/penanganan yang sudah berbeda... dan juga ditangani secara terpisah dengan keselamatan. Inilah perbedaan yang utama dari kedua cara yang ditempuh oleh Allah itu:
  1. Untuk hal2 rohani-supra alami: Dia mengambil alih semuanya dan membereskan semuanya bagi kita; 
  2. Untuk hal2 jasmani-materi-alami: Dia hanya membantu kita dalam hal2 atau di saat2 di mana kita tidak berdaya atau sudah sangat memerlukan pertolongan (dari-Nya) saja. 

Terkait dengan cara yang ditempuh oleh Tuhan di dalam hal2 jasmani-materi-alami ini saya akan mengingatkan kita kepada sebuah prinsip yang sebenarnya sudah lama dikenal di dalam Kekristenan (tapi, sayangnya, sudah banyak kali dilupakan pada masa sekarang ini--khususnya di gereja2 muda!), yaitu yang terkenal dari bahasa Latinnya: ORA ET LABORA.

Itu artinya bukan berdoa sambil bekerja (yaitu yang sering juga diartikan secara keliru oleh orang2 Kristen!), tapi BERDOA DAN BEKERJA.

Inilah prinsip yang berlaku di dalam hal2 jasmani-materi-alami, di sini kita dituntut untuk BERDOA dan BEKERJA. Sedangkan di dalam hal2 rohani-supra alami kita tidak dituntut apa2, Tuhan yang melakukan semuanya; di sinilah kita temukan arti yang sesungguhnya dari KASIH KARUNIA itu.... "Kalau itu kasih karunia kita tidak bekerja untuknya, kalau kita bekerja juga untuknya, itu bukanlah kasih karunia."


MARI KITA NAIKKAN "TINGKAT KONTRAS"-NYA

Untuk lebih memperjelas maksudnya dan supaya perbedaan pada kedua cara itu bisa benar2 terpampang nyata bagi kita, saya akan mencoba untuk "menaikkan tingkat kontrasnya hingga maksimal"...dengan menghadirkan tanya-jawab sebagai yang berikut ini:

Apakah kita masih perlu berdoa dan bekerja untuk hal2 seperti ini: pengampunan dosa, pembenaran, pengudusan, perkenanan dan penerimaan Allah, dll-nya?

Jawabnya: Tidak perlu lagi. Sebab semuanya itu sudah menjadi milik kita sejak kita percaya (atau sejak kita ada di dalam Kristus).

Apakah kita masih perlu berdoa dan bekerja untuk hal2 ini: Study, pekerjaan, teman hidup, pergaulan, dll-nya?

Jawabnya: Masih perlu.

Nah, kenapa kita sudah tidak perlu berdoa dan bekerja lagi untuk hal2 yang pertama, tapi masih perlu berdoa dan bekerja lagi untuk hal2 yang kedua?

Jawabnya: Karena hal2 yang pertama itu tergolong ke dalam hal2 rohani-supra alami (yaitu yang merupakan karya Allah sepenuhnya bagi kita), dan karena hal2 yang kedua itu tergolong ke dalam hal2 jasmani-materi-alami (yang merupakan peran wajar kita dalam hidup ini, sekalipun di dalamnya masih disertai juga dengan bantuan/pertolongan dari Tuhan di mana perlu!)

Segitu ajalah dulu, ya. Semoga paparan yang sederhana ini bisa membantu (bagi yang membutuhkannya). Soli Deo Gloria. Amin.

Selasa, 05 April 2016

Memahami Perbuatan-perbuatan Baik dari Kacamata Injil

(Perbuatan2 Baik yang Berasal dari Daging Vs. Perbuatan2 Baik yang Berasal dari Roh)


"Maksudku ialah: hiduplah oleh Roh, maka kamu tidak akan menuruti keinginan daging. Sebab keinginan daging berlawanan dengan keinginan Roh dan keinginan Roh berlawanan dengan keinginan daging -- karena keduanya bertentangan -- sehingga kamu setiap kali tidak melakukan apa yang kamu kehendaki. Akan tetapi jikalau kamu memberi dirimu dipimpin oleh Roh, maka kamu tidak hidup di bawah hukum Taurat." (Gal 5:16-18)
"Mereka yang hidup dalam daging, tidak mungkin berkenan kepada Allah." (Roma 8:8)

Apakah perbuatan baik manusia itu ada gunanya?

Jawaban untuk pertanyaan ini bisa "ada" bisa juga "tidak ada"... tergantung pada konteks di mana itu diterapkan.

  1. Perbuatan2 baik manusia itu ada kegunaannya, jika di dalam (konteks) kehidupan umum (civil life). 
  2. Perbuatan2 baik manusia itu tidak ada gunanya di dalam (konteks) kehidupan kerohanian kita. Bahkan, itu akan menjadi racun dan/atau pengganggu bagi kehidupan kerohanian kita.


Jadi, apakah semua perbuatan2 baik sudah tidak punya tempat lagi di dalam kehidupan kerohanian kita?

Tidak juga. Sebab sekalipun perbuatan2 baik manusia itu sudah tidak ada tempat/kegunaannya di dalam kehidupan kerohanian kita, tapi ternyata ada satu jenis perbuatan baik yang berguna di dalam kehidupan kerohanian kita, dan itu adalah perbuatan2 baik yang dihasilkan oleh kehidupan Kristus di dalam kita.

Ini tentunya adalah jenis perbuatan baik yang sudah sangat berbeda (dari apa yang kita kenal sebelumnya). Dan ini sudah tidak patut lagi untuk disebut sebagai "perbuatan2 baik manusia"... karena ini tidak lain adalah perbuatan2 baik Kristus/Tuhan sendiri di dalam dan melalui kita.

Bagaimanakah cara berlangsungnya perbuatan2 baik yang berasal dari Roh ini?

Ini, dengan sangat baik, dapat digambarkan dengan (perbuatan2 dari) seorang pria yang sedang jatuh cinta dengan seorang gadis.

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa seseorang yang sedang jatuh cinta itu seolah-olah menjelma menjadi orang lain. Misalnya, tadinya dia malasnya 'minta ampun', bangunnya selalu kesiangan, jarang mandi, dst. Tapi begitu dia jatuh cinta dengan seorang gadis, semuanya bak disulap (atau disihir?)... berubah 180 derajad. Kini dia menjadi seorang yang rajin, bisa bangun jam 05 pagi, mandi bisa 3 kali sehari, dst. (Tentunya perlu dicatat bahwa perubahan yang terjadi itu khususnya di dalam hal2 yang ada keterkaitannya dengan si gadis yang dicintainya itu saja).

Kalau kita periksa secara lebih dekat untuk mengamati perubahan yang terjadi itu, maka kita akan temukan bahwa perubahan tersebut terjadinya....


1. Secara spontan. 

Jadi perubahannya terjadi secara begitu saja, tanpa di-setting atau dirancang-rancangkan olehnya sebelumnya; semuanya mengalir begitu saja dari dalam dirinya. Bisa dikatakan bahwa tindakan2 (perubahan) yang dilakukan olehnya itu lebih bersifat intuitif ketimbang rasional (lihat catatan di bawah untuk kata "intuitif" dan "rasional" ini).


2. Secara sukarela.

Ini berarti semua tindakan2nya (yang mencerminkan terjadinya perubahan itu) dilakukan dengan begitu saja olehnya, tanpa adanya tekanan2 yang datang dari luar dirinya atau tanpa ada yang menyuruh/mengharuskan/mewajibkannya untuk melakukannya (termasuk si gadis itu sendiri).

Seperti itulah juga perubahan atau perbuatan2 baik yang "berasal dari Roh"--terjadinya secara SPONTAN dan SUKARELA (yaitu sebagaimana kedua kata itu sudah diterangkan pada kedua point di atas tadi). Hanya perubahan atau perbuatan2 baik yang ditandai dengan karakteristik dari kedua kata itu sajalah (spontan dan sukarela) yang bisa digolongkan sebagai perbuatan2 baik yang "berasal dari Roh." Dan apa yang di luar itu atau yang berbeda dengan itu berarti masih harus digolongkan sebagai perbuatan2 baik yang "berasal dari daging" (=perbuatan2 baik manusia).

Nah, seperti itulah perbuatan2 baik yang kami inginkan untuk ada pada orang2 Kristen dalam kehidupan kerohaniannya. Jadi, sekali lagi, kami bukan menolak semua jenis perbuatan2 baik dari kerohanian Kristen. Yang kami tolak adalah perbuatan2 baik yang umum, perbuatan2 baik manusia. Kami sudah tidak melihat kepentingannya lagi (perbuatan2 baik manusia itu) di dalam kerohanian Kristen. Dan bukan saja kami memandang perbuatan2 baik manusia itu tidak berguna, tapi lebih dari itu, bahkan (jika dibiarkan dan tidak ditolak) itu akan merusak kerohanian Kristen seseorang (karena memasukkan unsur2 yang asing ke dalamnya!).

Begitu.

----------
Catatan (dari KBBI):

in·tu·i·tif a bersifat (secara) intuisi, berdasar bisikan (gerak) hati:
in·tu·i·si n daya atau kemampuan mengetahui atau memahami sesuatu tanpa dipikirkan atau dipelajari; bisikan hati; gerak hati.

ra·si·o·nal [1] a 1 menurut pikiran dan pertimbangan yg logis; menurut pikiran yg sehat; cocok dgn akal.