Kamis, 03 November 2016

Kembali ke Injil Paulus

(Sudah Saatnya Sekarang Ini bagi Orang2 Kristen dari Bangsa2 Bukan Yahudi untuk Kembali ke "Injil Paulus")


"Ingatlah ini: Yesus Kristus, yang telah bangkit dari antara orang mati, yang telah dilahirkan sebagai keturunan Daud, itulah yang kuberitakan dalam Injilku ["according to my gospel"-KJV]." (2 Tim 2:8)
"Hal itu akan nampak pada hari, bilamana Allah, sesuai dengan Injil yang kuberitakan ["according to my gospel"-KJV], akan menghakimi segala sesuatu yang tersembunyi dalam hati manusia, oleh Kristus Yesus." (Roma 2:16)
"Bagi Dia, yang berkuasa menguatkan kamu, --menurut Injil yang kumasyhurkan ["according to my gospel"-KJV] dan pemberitaan tentang Yesus Kristus, sesuai dengan pernyataan rahasia, yang didiamkan berabad-abad lamanya" (Roma 16:25)
"Sebab aku menegaskan kepadamu, saudara-saudaraku, bahwa Injil yang kuberitakan itu bukanlah injil manusia. Karena aku bukan menerimanya dari manusia, dan bukan manusia yang mengajarkannya kepadaku, tetapi aku menerimanya oleh penyataan Yesus Kristus... Tetapi waktu Ia, yang telah memilih aku sejak kandungan ibuku dan memanggil aku oleh kasih karunia-Nya, berkenan menyatakan Anak-Nya di dalam aku, supaya aku memberitakan Dia di antara bangsa-bangsa bukan Yahudi, maka sesaatpun aku tidak minta pertimbangan kepada manusia;" (Gal 1:11-12, 15-16)
"Tetapi aku tidak menghiraukan nyawaku sedikitpun, asal saja aku dapat mencapai garis akhir dan menyelesaikan pelayanan yang ditugaskan oleh Tuhan Yesus kepadaku untuk memberi kesaksian tentang Injil kasih karunia Allah." (Kis 20:24)
"Sebab sekalipun kamu mempunyai beribu-ribu pendidik dalam Kristus, kamu tidak mempunyai banyak bapa. Karena akulah yang dalam Kristus Yesus telah menjadi bapamu oleh Injil yang kuberitakan kepadamu." (1 Kor 4:15)

Sudah begitu lama Kekristenan jatuh/keluar dari Injil Paulus... dan sudah begitu lama hampir tidak ada ("nyaris tak terdengar") suara-suara yang menyerukan agar orang-orang Kristen (yaitu khususnya yang berasal dari bangsa-bangsa bukan Yahudi) kembali kepada Injil Paulus itu.

Jadi, sudah saatnyakah sekarang ini bagi kita untuk kembali ke Injil Paulus?

Sebenarnya, sudah sejak lama Kekristenan atau gereja Kristen harusnya kembali ke Injil Paulus... bahkan seharusnya sejak awal mulanya, yakni sejak Kekristenan untuk kali yang pertama melangkah ke luar (menyimpang) dari Injil Paulus, saat itu juga langkah untuk kembali ke Injil Paulus itu harus sudah dimulai. Tapi rupanya sejarah mencatat bahwa Kekristenan terus saja melangkah tanpa menyadari bahwa langkah-langkah mereka sudah berada di luar (atau tidak lagi setia) dengan Injil Paulus (dan serentak dengan itu tidak lagi menjadikan Paulus sebagai rasul mereka yang satu-satunya). Sehingga, sampai pada saat ini Kekristenan pada umumnya, ketimbang menerima Paulus sebagai satu-satunya rasul untuk kita, dia hanyalah diakui sebagai salah satu saja, dari sekian banyak rasul-rasul yang lainnya.

Padahal, Pauluslah satu-satunya rasul yang diberikan untuk kita orang-orang Kristen dari bangsa-bangsa bukan Yahudi (Roma 11:13, Galatia 2:6-9).


Bukan Mengecewakan Paulus, tapi Mengecewakan Yesus

Apakah Paulus kecewa terhadap kita, gereja Kristen sekarang ini?

Saya tidak percaya bahwa keadaan kita sekarang ini mengecewakan Paulus. Tapi, saya percaya keadaan kita sekarang ini mengecewakan Yesus.

Mengapa? Sebab Dialah yang memilih dan mengkhususkan Paulus sebagai rasul (yang satu-satunya!) bagi kita (Kisah 9:15-16).

Tapi, anehnya, kita pada umumnya malah bangga dengan keadaan kita seperti yang sekarang ini... karena kita sekarang ini "memiliki" banyak rasul, dan kita tidak hanya terfokuskan (atau mengutamakan) hanya pada salah satunya saja (misalnya, Paulus).

Betapa anehnya itu! Bukannya bersedih atas keadaan kita yang sekarang ini, yang sudah menyalahi pengaturan sebagaimana yang telah dibuat/ditetapkan oleh Yesus sendiri bagi kita (yaitu bahwa kepada kita sebagai orang-orang Kristen dari bangsa-bangsa bukan Yahudi sudah dipilih/ditetapkan oleh-Nya Paulus sebagai rasul satu-satunya), kita malah berbangga... :P

Marilah kita semua bertobat... yaitu dengan kembali kepada Injil Paulus (=Injil kasih karunia), dan serentak dengan itu juga kita (kembali) melihat bahwa Paulus adalah satu-satunya rasul kita.

Kita hanya punya satu rasul saja. Bukan 12... (ke-12 rasul itu adalah rasul-rasul untuk orang-orang dari bangsa Israel/Yahudi). Bukan 12 + 1. Bukan banyak. Hanya 1 rasul saja, yaitu Paulus. Dan dia jugalah yang menjadi bapak rohani kita dalam Injil (1 Kor 4:15). Amin.

----------------------
NB: Diharapkan kepada setiap pembaca untuk benar2 membaca apa yang saya kemukakan di dalam tulisan ini dengan cermat (dan dengan tenang!), sebab sesungguhnya (selain beberapa hal yang sudah biasa) di sini juga terdapat soal2 yang sangat tidak biasa dibicarakan dalam khotbah2 di gereja2 (bahkan dalam perkuliahan2 di STT-2). Yang penting, pertimbangkanlah dengan baik2 semua yang saya kemukakan di sini (juga dengan memeriksa secara cermat ayat2 Alkitab yang saya berikan di sana sebagai rujukan2nya). Periksa juga lagi tulisan2 saya yang sebelumnya di sini, yang masih terkait erat dengan topik ini, a/l: "Injil Paulus: Mengindikasikan Adanya Dua Injil untuk Dua Umat yang Berbeda" dan "Anjuran untuk Lebih Mengacu kepada Ajaran2 Yesus Ketimbang Ajaran2 Paulus adalah sebuah Pembodohan!"

Rabu, 19 Oktober 2016

Zakheus, Si Gangster

Bagaimanapun juga, Yesus tidak memiliki sebuah sistem rating bagi dosa. Ia mau menerima siapapun, mengasihi siapapun. Hal ini paling terbukti dalam kisah Zakheus si pemungut cukai.

Saya harus memberitahu terlebih dahulu bahwa ketika saya membaca kisah-kisah Alkitab, semua karakter utamanya memiliki aksen. Ini perkiraan saya saja.

Zakheus, dalam pikiran saya, sedikit seperti gangster. Jika Anda tidak bisa membaca dialognya dengan sedikit berlagak, Anda dan saya tidak akan “nyambung” dengan baik untuk beberapa halaman selanjutnya. Anda mungkin perlu mendengarkan beberapa album hip-hop dan mencoba lagi.

Kalau-kalau Anda tidak tahu kisahnya, Zakheus adalah seorang pemungut cukai. Sebenarnya, ia adalah kepala pemungut cukai. Ia juga benar-benar pendek. Itu penting.

Inilah kisahnya, langsung dari Alkitab:

Yesus masuk ke kota Yerikho dan berjalan terus melintasi kota itu. Di situ ada seorang bernama Zakheus, kepala pemungut cukai, dan ia seorang yang kaya. Ia berusaha untuk melihat orang apakah Yesus itu, tetapi ia tidak berhasil karena orang banyak, sebab  badannya pendek. Maka berlarilah ia mendahului orang banyak, lalu memanjat pohon ara untuk melihat Yesus, yang akan lewat di situ.
Ketika Yesus sampai ke tempat itu, Ia melihat ke atas dan berkata: “Zakheus, segeralah turun, sebab hari ini Aku harus menumpang di rumahmu.”
Lalu Zakheus segera turun dan menerima Yesus dengan sukacita. Tetapi semua orang yang melihat hal itu bersungut-sungut, katanya: “Ia menumpang di rumah orang berdosa.”
Tetapi Zakheus berdiri dan berkata kepada Tuhan: “Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat.”
Kata Yesus kepadanya: “Hari ini telah terjadi keselamatan kepada rumah ini, karena orang ini pun anak Abraham. Sebab Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang  hilang.” (Lukas 19:1-10)

Latar belakang kisah yang menarik: orang-orang Israel di zaman Yesus memandang para pemungut cukai sebagai pencuri dan calo. Para pemungut cukai adalah orang-orang Yahudi yang bekerja untuk pemerintah Roma, yang menguasai Israel pada waktu itu. pekerjaan mereka adalah memungut pajak dari orang-orang mereka sendiri dan menyerahkan uangnya kepada penguasa asing yang dibenci. Pendapatan mereka sendiri berasal dari apa pun yang bisa mereka dapatkan dari orang-orang setelah mereka memenuhi kuota pemerintah Romawi. Jadi Zakheus bersama teman-teman pengkhianat sesama pemungut cukai akan mengenakan jumlah pajak yang tinggi. Zakheus adalah seorang penipu ulung, seorang penggelap pajak. Ia mengambil uang dari wanita-wanita tua yang kecil. Ia adalah seorang pencuri.

Saya kira Zakheus sama dengan budaya populer saat ini. Saya pikir dia suka nampang; ia suka beraksi. Ketika mereka menggelar karpet merah dan kamera-kamera bermunculan, Zakheus akan ada di sana, dengan wanita di samping kanan-kirinya, memandang melalui kacamata hitamnya kepada para kru televisi. “Hei, kalian semua.” Ketika ia mengadakan konferensi pers, ia berbicara tentang dirinya dalam orang ketiga.

Zakheus adalah orang yang pendek, tapi jangan tertipu oleh tinggi badannya. Ia punya banyak uang. Pada beberapa waktu, bertahun-tahun sebelumnya, ia telah direkrut oleh orang-orang Roma. Ia mungkin sedikit luar biasa. Ia memulai sebagai seorang asisten pemungut cukai. Setelah membuktikan bahwa ia cukup baik, ia dipromosikan menjadi pemungut cukai. Akhirnya, kita menemukan dia dalam kisah ini, ia telah menjadi kepala pemungut cukai. Ia kemungkinan mengawasi seluruh pajak daerah dan sebuah geng kecil para pemungut cukai yang memberikan dia sebagian dari apa yang mereka ambil.

Ini membuat Zakheus ditolak habis-habisan. Namanya dikenal buruk. Berapa lama ia telah melakukan ini? Lima tahun? Lebih lama dari itu–ia adalah kepala pemungut cukai. Sepuluh tahun? Dua puluh?

Saya pikir ia tidak keberatan kalau dibenci. Bahkan, saya kira ia mencintai hidup. Ia naik ke rumahnya yang besar, memandang kota dari atas, bersantai di kolamnya yang besar, dengan para pelayan mengipasi dia dan menjatuhkan anggur ke dalam mulutnya.

Setiap orang takut kepada dia sekarang. Tentu saja, mereka membenci dia–tapi paling tidak mereka menghormati dia. Waktu di sekolah dasar, tak seorang pun memilih orang yang pendek. Tetapi sekarang, mereka takut terhadap pria kecil itu. Zakheus adalah orang besar di bloknya. Kabar anginnya adalah, Yesus mungkin adalah Mesias yang dijanjikan. Zakheus telah bertumbuh dalam budaya Yahudi, dan ia pasti sudah tidak asing lagi dengan nubuatan-nubuatan. Tak diragukan lagi, ia telah mendengar bahwa suatu hari akan datang seorang Mesias. 

Sekarang Yesus sedang melewati kota itu, dan Zakheus berkata, “Aku akan memeriksa orang ini. Ia memiliki banyak pengikut; banyak orang membicarakan dia. Aku penasaran.

Saya ragu Zakheus berpikir, "Wow, aku berharap Yesus menyelamatkanku." Menyelamatkan dia dari apa? Rumahnya yang besar? Semua wanita yang mencintai dia?

Tidak, dia hanya ingin memeriksa pria yang populer itu. Apa yang dipikirkan Zakheus hanyalah tentang status. Anda tidak menjadi seorang pemungut cukai dan kemudian seorang kepala pemungut cukai, dan tidak menyukai uang dan status. Ia terkenal dalam artian negatif, tapi ia terkenal.

Yesus mulai melintasi jalanan. Orang-orang berbaris di jalan-jalan, berusaha melihat Dia sekilas, dan Zakheus sadar kalau dia tidak bisa melihat melalui kerumunan orang. Kerumunan orang begitu banyak, katanya dalam hati. Aku tidak akan bisa melihat orang ini.

Zakheus adalah seorang yang inovatif, yang terbiasa membuka jalan bagi dirinya sendiri. Jadi ia menyentakkan jubahnya yang gemerlap dan berlari ke depan, dengan rantai-rantai emas berdentingan, dan ia memanjat sebuah pohon ara.

Ia dapat melihat awan debu dan semua orang yang berdesak-desakan di sekeliling Yesus. Anda akan berpikir kalau Dia adalah Justin Bieber atau semacam itu. Ia menyusuri jalanan, dan tiba-tiba–Zakheus rasanya tidak percaya kalau ini adalah hari keberuntungannya–Ia berhenti tepat di samping pohon yang dipanjat pria kecil itu.

Ini dia, pikirnya. Aku bisa memeriksa orang ini dari atas sini; mungkin mendengarkan apa yang akan Ia katakan. Kemudian, Zakheus sangat terkejut, Yesus memandang dia yang ada di atas. Yesus memanggil namanya. “Zakheus.

Apa? Bagaimana Kau bisa mengenalku? Aku tidak mengenal-Mu. Siapa yang memberitahu-Mu tentang aku?

Mereka mengatakan bahwa suara terindah bagi telinga manusia adalah suara namanya sendiri. Allah memanggil nama orang yang ditolak, egois, dan keras ini: “Zakheus, turunlah, Aku akan ke rumahmu–sekarang juga.

Apa benar? Hmm, baiklah. Ya.”

Zakheus menikmati momen tersebut. Semua pemuka agama Yahudi yang terhormat menginginkan semenit bersama Yesus, suatu anggukan, dan jabatan tangan. Namun sekarang, kepala pemungut cukai–orang yang paling buruk di tempat itu–mendapatkan sebuah undangan pribadi.

Saya pikir ia memandang setiap orang dan berkata, “Apa kabar, kalian semua?” Ia memberi kabar kepada semua sahabatnya dan semua pemungut cukai kaki tangannya untuk mampir dan menemui Yesus. Ini adalah momennya untuk menjadi pusat perhatian.

“Aku akan mengganti semuanya”

Tetapi sore itu, sesuatu yang tak terduga dan tak dapat dijelaskan mulai terjadi dalam hati Zakheus. Berapa lama dia bertemu dengan Allah yang hidup? Dua jam? Empat jam? Kita tidak tahu. Apa yang mereka bicarakan? Kita hanya bisa menebak.

Kita bisa beranggapan kalau mereka makan bersama dan Yesus mungkin banyak mendengarkan. Zakheus pasti berpikir, Tak seorang pun yang mendengarkan aku, kecuali beberapa orang yang bekerja untukku. Tapi orang ini peduli. Ia mendengarkan. Ia mengerti.

Saya bisa membayangkan Zakheus menatap mata yang paling penuh belas kasihan yang pernah ia lihat dan berpikir, Apakah Yesus tahu siapa aku? Apakah Ia tahu siapa yang ada di sekeliling meja makanku? Apakah Ia tahu apa yang kami lakukan untuk mencari nafkah? Apakah Ia tahu ikannya dibeli dengan apa? Apakah Ia tahu bagaimana aku membayar untuk rumah ini? Ia pasti tahu… tapi Ia tidak menolakku.

Setelah beberapa jam bersama Yesus, Zakheus tidak tahan lagi. Tiba-tiba, ia berdiri, tampak kewalahan dengan siapa Yesus ini. Di depan keluarganya, teman-teman sebaya, dan para pegawainya, ia berkata tanpa berpikir, “Aku akan mengganti semuanya!

Apa?

Aku akan mengganti semuanya, Yesus. Aku akan mulai memberikan uangku. Bahkan aku akan mengembalikan kepada semua orang yang pernah aku tipu sebesar empat kali lipat dari yang telah aku curi.

Bos besar yang lapar uang dan tidak punya perasaan ini akan bangkrut, tapi ia bahkan tidak peduli. Sebuah momen bersama Yesus mengubah segalanya.

Saya bertanya-tanya apa yang Yesus katakan di suatu sore yang singkat itu yang mengubah seorang pengambil seumur hidup menjadi seorang pemberi yang murah hati. Tetapi bukan itu inti dari perikop ini. Saya pikir Alkitab melewatkan apa yang mereka bicarakan karena kita pasti akan mencoba menjadikan pembicaraan mereka sebagai suatu resep atau sebuah program. Ini bukan tentang apa yang Zakheus bicarakan. Ini tentang bersama siapa Zakheus berbicara. Ini tentang bersama dengan Yesus.

Apa yang mengubah Zakheus? Prinsip Alkitab? Pengabdian pribadi? Tugas dan perbuatan agama? Tidak–hanya beberapa saat bersama dengan Allah yang menjadi manusia. Bahkan tidak ada catatan yang menunjukkan bahwa ada seseorang yang memberitahu Zakheus kalau ia perlu bertobat atau mengembalikan uangnya. Tetapi sesuatu menyentuh orang ini ketika ia berjumpa dengan Yesus.

Bergegas turun

Kebenarannya, saya adalah Zakheus. Tubuh saya mungkin tidak pendek, tapi kerohanian saya pendek. Kemampuan dan kapasitas saya dangkal. Bahkan sekalipun saya ingin mendekat kepada Yesus, sekalipun saya ingin melihat Yesus, saya tidak bisa melihat melampaui diri saya sendiri. Saya tidak bisa melihat melampaui dosa saya, melampaui pengalihan-pengalihan saya, melampaui ego saya.

Bagaimana caranya kita mencoba menjangkau Yesus? Kita berlari lebih cepat dan kita memanjat pohon perbuatan-perbuatan agamawi. Kita berpikir, Saya akan sampai kepada Yesus. Saya akan mengesankan Yesus dengan siapa saya.

Saya percaya kebanyakan orang memiliki rasa ketidakcukupan dan kegagalan di kedalaman diri mereka. Tidak peduli seberapa keras mereka mencoba atau apa yang mereka capai, mereka tahu bahwa mereka berada di sebuah tempat yang gelap. Mereka pendek dalam pengertian rohani. Mereka telah berdosa dan gagal memenuhi standar kemuliaan Allah. Jadi mereka berpikir, Saya akan berlari lebih cepat, saya akan berlari ke depan, saya akan menemukan sebuah pohon dan memanjatnya, dan saya akan mendapatkan perhatian Allah. Seakan-akan tindakan Anda berlari dan memanjatlah yang membuat Allah memperhatikan Anda!

Bukan itu yang menyelamatkan Zakheus, tapi belas kasihan. Kasih karunia Allah. Inisiatif Allah.

Kita pikir Tuhan berhenti dan memperhatikan kita karena Ia melihat kita di atas, di pohon ara kita yang kecil. Kita pikir itu karena kita sangat baik. “Lihat, saya membuat Allah memperhatikan saya. Apakah kau melihatnya? Itu karena saya berdoa begitu keras, karena saya berdoa begitu banyak, karena saya datang ke gereja.

Tetapi bukan itu alasan Yesus berhenti hari itu. Ia berhenti atas pilihan-Nya sendiri. Ia berhenti karena Ia murah hati dan Ia baik. Ia berhenti karena Ia sangat mengenal Zakheus, sama seperti Ia mengenal saya dan mengenal Anda.

Yesus menyuruh Zakheus untuk bergegas dan Ia memberitahu kita hal yang sama. “Bergegaslah turun dari agama. Bergegaslah turun dari tradisi. Berhenti berusaha mengangkat dirimu sendiri. Hanya kasih karunia-Ku yang bisa menyelamatkanmu. Turunlah, dan datanglah sekarang. Jangan habiskan waktu lainnya atau hari lainnya dengan memercayai dirimu sendiri. Aku ingin bersamamu hari ini.

Sementara Zakheus berbicara, Yesus pasti senyum-senyum sendiri. Tetapi sekarang Ia mengeluarkan pernyataan-Nya. “Hari ini telah terjadi keselamatan kepada rumah ini. Zakheus adalah anak Abraham, seorang Yahudi sejati.

Zakheus tercengang. Ia adalah contoh murni seorang pengkhianat, orang yang buruk, kebalikan dari orang Yahudi yang baik. Karena sepanjang yang bisa ia ingat, ia telah berada di luar melihat ke dalam. Sekarang ia berada di dalam? Sekarang ia adalah orang yang baik? Saya harap saya bisa melihat wajah teman-temannya. Jika ada harapan bagi Zakheus, maka pasti ada harapan bagi saya juga!

Kemudian Yesus menyimpulkan misi hidup-Nya: “Aku ada di sini untuk menemukan dan menolong orang-orang yang terhilang. Itulah sebabnya Aku datang.

Orang-orang Farisi berpikir sang Mesias hanya datang untuk beberapa orang pilihan, untuk orang-orang yang dikuduskan, untuk orang-orang agamawi. Tetapi Yesus mengatakan berulang-ulang kali bahwa Ia datang untuk mereka yang hancur, yang buruk, yang kecanduan, yang terikat, yang tersesat, yang terhilang, yang terluka.

Terkadang kita seperti Zakheus. Kita telah berkubang dalam dosa begitu lama. Kita memiliki masalah, kelemahan, dan kecenderungan untuk melakukan hal yang salah. Kita tak berdaya, tak berpengharapan. Kita berpikir, Bahkan Yesus pun tidak bisa membebaskan saya. Lagi pula, kita telah mencoba sekeras mungkin dan tidak ada apa pun yang berubah. Lagi pula, Ia tidak akan melihat ada apa pun yang berharga dalam diri kita untuk layak diselamatkan.

Mungkin Anda memiliki dosa tersembunyi: sebuah hubungan gelap delapan tahun yang lalu yang tidak diketahui siapapun bahkan pasangan Anda. Mungkin Anda memiliki sesuatu yang mengendalikan hidup Anda, seperti kecanduan alkohol atau beberapa kecanduan lainnya. Orang-orang telah memberitahu Anda bahwa Anda tidak akan pernah berubah, dan Anda mulai memercayai mereka.

Yesus bukan penuduh Anda. Ia bukan pendakwa Anda. Ia bukan hakim Anda. Ia adalah teman Anda dan penyelamat Anda. Seperti Zakheus, habiskan saja waktu dengan Yesus. Jangan bersembunyi dari Dia dengan rasa malu atau menolak Dia dengan kebenaran diri. Jangan izinkan pendapat orang lain membentuk konsep Anda tentang Dia. Kenali Dia sendiri, dan biarkan kebaikan Allah mengubah Anda dari dalam ke luar.


(Dicuplik dari bab 1 buku "Jesus Is... " by Judah Smith, versi Indo. "Yesus Adalah..." oleh LIGHT PUBLISHING)

Minggu, 04 September 2016

Pengampunan Vertikal Tidak Meniadakan Konsekwensi2 Horizontal


"Seluruh dosa kita sudah diampuni." Apakah itu artinya sudah tidak ada lagi konsekwensi apa pun yang akan kita terima/tanggung sebagai akibat dari dosa2 kita itu?

Jawabannya, ya--untuk sebagian; tidak--untuk sebagiannya lagi.

Maksudnya, ada sebagian bidang di dalam kehidupan kita di mana konsekwensi2 dari dosa kita itu sudah tidak ada lagi (tidak akan kita terima/tanggung lagi), dan ada sebagian bidang lagi dalam kehidupan kita di mana konsekwensi2 dari dosa kita itu masih ada (masih akan kita terima/tanggung). Dan hal ini terkait dengan dua bidang besar kehidupan kita, yaitu:
  1. Bidang vertikal: Bidang yang mencakup relasi antara kita dengan Tuhan
  2. Bidang horizontal: Bidang yang mencakup relasi antara kita dengan diri sendiri dan sesama.
Berikut ini adalah penjelasan yang secara singkat2 saja tentang konsekwensi2 dosa pada kedua bidang kehidupan kita itu.

BIDANG VERTIKAL. Khusus untuk bidang vertikal kita ini konsekwensi2 dari dosa kita itu sudah tidak ada lagi (tidak akan kita terima/tanggung lagi).

Hubungan kita dengan Tuhan sama sekali tidak akan terganggu karena dosa2 kita itu. Tuhan tidak pernah lagi menjadi marah kepada kita karena dosa2 kita itu. Dan itu semua bisa terjadi karena Tuhan sudah mengampuni "seluruh dosa kita."

BIDANG HORISONTAL. Sedangkan untuk bidang horizontal kita ini konsekwensi2 dari dosa kita itu masih tetap ada (kecuali Tuhan mengintervensinya!).

Jadi, apa yang terjadi (sebagai akibat dari perbuatan2 dosa kita) pada bidang vertikal kita TIDAKLAH SAMA dengan apa yang terjadi pada bidang horizontal kita. Pengampunan dari Tuhan tidaklah secara otomatis menghilangkan atau meniadakan konsekwensi2 dari dosa2 kita itu di bidang horizontal kita ini (yaitu bidang yang menyangkut dengan relasi kita dengan diri kita sendiri dan dengan sesama kita). Dalam bidang ini kita masih dihadapkan pada kewajiban2 untuk mempertanggungjawabkan perbuatan2 kita. Di sini "hukum tabur-tuai" masih berlaku.
"Jangan sesat! Allah tidak membiarkan diri-Nya dipermainkan. Karena apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya. Sebab barangsiapa menabur dalam dagingnya, ia akan menuai kebinasaan dari dagingnya, tetapi barangsiapa menabur dalam Roh, ia akan menuai hidup yang kekal dari Roh itu." (Gal 6:7-8)

Ayat Alkitab ini haruslah kita terapkan untuk bidang horizontal kita saja (menerapkan firman Tuhan ini untuk bidang vertikal kita bersama Tuhan akan merupakan penyelewengan terhadap firman Tuhan itu!). Perhatikanlah apa yang dikatakan di ayatnya itu tentang orang yang menabur dalam dagingnya bahwa "ia akan menuai kebinasaan dari dagingnya." Jadi bukan Tuhan yang membinasakan dia atau memberikan kebinasaan itu kepadanya!

Dengan demikian, Anda mungkin saja akan menderita sakit penyakit tertentu di tubuh Anda, sebagai akibat dari dosa2 anda atau perbuatan2 anda yang salah/menyimpang itu. Atau anda bisa saja mengalami kebangkrutan dalam usaha anda... gagal dalam study anda... gagal dalam pernikahan anda... hancur hubungan keluarga/persahabatan anda, dll. dan semuanya itu adalah sebagai konsekwensi (yang harus anda terima/tanggung) dari dosa2 atau perbuatan2 anda yang salah itu. Hal2 itu terjadi kepada anda bukan karena Tuhan tidak/belum mengampuni Anda. Hal2 itu masih akan terjadi juga kepada anda, walaupun Tuhan sudah mengampuni Anda (dan faktanya Tuhan memang sudah mengampuni Anda!). Jadi, hal2 itu terjadi bukan karena Tuhan marah kepada anda (atas dosa2 anda itu).

Ada Pengecualiannya!

Tentu saja, ada kalanya pada orang2 tertentu atau untuk kasus2 yang tertentu Tuhan meniadakan konsekwensi2 dari dosa2 kita dalam bidang horizontal kita. Dengan kata lain, pada kasus itu kita tidak dibiarkan menuai dari taburan kita yang buruk. Mis: Karena kecerobohan kita sendiri, harusnya kita mengidap sakit-penyakit tertentu, tapi oleh intervensi dari Tuhan hal itu tidak terjadi pada kita. Hal yang seperti ini bisa dibagi ke dalam dua bagian besar, sbb:
  1. Providensia Allah (Pertolongan2 Tuhan yang secara agak umum)
  2. Mujizat (dari Tuhan).
Sebagian orang akan menyebut kedua jenis pertolongan Tuhan itu sebagai "mujizat". Saya sendiri lebih cenderung menyebut sesuatu itu sebagai "mujizat" kalau peristiwa atau kejadiannya bersifat sekejap mata dan spektakuler. Misalnya, dalam kasus kesembuhan: Orang yang sudah nyata2 buta atau lumpuh dari sejak lahirnya, tiba2 bisa melihat atau berjalan pada seketika itu juga. Peristiwa2 atau kejadian2 yang seperti inilah yang saya sebut sebagai mujizat. Tapi kalau misalnya seseorang yang katanya mengidap penyakit jantung, lalu didoakan, dan setelah doa itu katanya dia merasakan suatu "perubahan" dan merasa keadaanya semakin "membaik". Sorry ya, untuk hal yang seperti ini saya tidak akan menyebutnya sebagai mujizat!

Masalahnya, yang namanya intervensi dari Tuhan itu adalah sesuatu yang diberikan atas dasar kedaulatan-Nya semata. Tidak ada upaya2 yang bisa kita lakukan untuk "membujuk" Tuhan agar bersedia memberikan intervensi-Nya itu kepada kita (atau untuk kasus kita yang tertentu). Tidak ada kiat, cara, teknik, trick, atau "rahasia" yang bisa anda temukan atau pelajari untuk bisa "sukses" dalam hal ini. Walaupun kita diperbolehkan (dan dianjurkan!) untuk berdoa...memohonkan campur-tangan-Nya dalam kasus2 tertentu. Tapi, tidak ada doa--yang bagaimana pun itu!--yang akan berfungsi sebagai "pembujuk" bagi Tuhan. Berdoa adalah sebuah kewajaran dari pihak kita kepada Tuhan, tapi doa bukanlah sebuah cara bagi kita untuk bisa "memanipulasi" Tuhan... supaya Dia tunduk kepada kemauan kita. Dia tetap hanya akan menjawab/mengabulkan doa2 kita berdasarkan pertimbangan kebijaksanaan dan kehendak-Nya sendiri. Dan adalah sebuah keniscayaan belaka, bahwa akan ada doa2 kita yang dikabulkan-Nya dan akan ada pula doa2 kita yang tidak akan dikabulkan-Nya (dan itu tidak harus selalu dilihat dari sisi kekurangan/kelemahan dari doa2 atau orang2 yang berdoa itu!).

Tujuan dari Membagikan tentang Hal Ini

Menegaskan kebenaran yang mengatakan bahwa "seluruh dosa kita sudah diampuni" tentu saja hal itu bisa membawa akibat akan adanya orang2 tertentu yang menyalahgunakannya, misalnya dengan menjadikan hal itu sebagai alasan bagi mereka untuk terus hidup (bercokol) di dalam dosa2 mereka. "Toh, kita kan sudah diampuni oleh Tuhan dari seluruh dosa kita (baik dosa2 yang dulu, yang sekarang, maupun yang akan datang). Jadi, marilah kita berbuat dosa dengan sepuas-puasnya!" Dan hal itu menyebabkan sebagian orang berpikir, bahwa kita perlu untuk membuat sesuatu yang berguna untuk mencegah atau menghalangi (atau menakut-nakuti) orang2 dari melakukan penyalahgunaan itu.

Saya sendiri tidak setuju dengan pemikiran untuk maksud pencegahan itu tadi. Dan sejujurnya, tulisan ini tidaklah saya maksudkan untuk tujuan pencegahan yang seperti itu. Sebab saya percaya, kebenaran itu harus dibukakan secara apa adanya, blak-blakan, tidak ditahan-tahan atau ditutup-tutupi pada bagian yang mananya pun! Terserah, apakah orang2 yang menerimanya akan menerimanya dengan tulus dan penuh penghargaan terhadapnya, atau menerimanya untuk menyalahgunakannya. Kebenaran itu haruslah terbuka untuk kedua kemungkinan itu.

Jadi, kalau bukan untuk maksud "mencegah" itu tadi, apakah yang menjadi tujuan saya dengan membagikan tentang hal ini (yaitu dengan membukakan tentang masih tetap adanya konsewensi horizontal dari dosa2 kita, sekalipun kita sudah diampuni oleh Tuhan)?

Dengan membagikan tentang hal ini tujuan saya tidak lebih dari hanya memberikan informasi yang benar atau sebagaimana adanya saja bagi anda sekalian. Sebagai seorang pengajar Kekristenan, saya akan bersalah kalau saya tidak memberitahukan kepada anda mengenai hal ini (sama salahnya, jika saya tidak memberitahukan kepada anda bahwa seluruh dosa anda sudah diampuni oleh Tuhan). (Saya tahu, bahwa kebenaran tentang hal ini tidak terlalu menyenangkan bagi kebanyakan kita. Kita semua tentunya jauh lebih suka menerima kebenaran yang mengatakan "seluruh dosa kita sudah diampuni." Tapi, kebenaran adalah tetap kebenaran... dan kita tidak akan beruntung kalau kita menolaknya atau mengabaikan satu pun dari antaranya! Sambutlah semua kebenaran--yang mana pun itu!--dengan sikap yang sama: menerimanya dengan tulus dan penuh penghargaan.) Amin.

Rabu, 31 Agustus 2016

Beberapa Catatan dari Saya untuk 1 Yohanes 1:9


Dalam usaha dari orang-orang tertentu untuk memberikan dukungan terhadap praktik dan ajaran tentang "minta ampun" kepada Tuhan, selain dengan mengacu kepada "doa Bapa kami" (Mat 6:9-14), biasanya mereka juga mengacu kepada ayat 1 Yohanes 1:9.

Untuk kasus "doa Bapa kami" saya sudah membantahnya dengan mengajukan soal perbedaan antara ajaran-ajaran Yesus atau kebenaran2 sebelum salib dan kebenaran2 setelah salib. Sebenarnya untuk kasus yang ini pun cara yang sama itu (atau yang masih terkait dengan itu) masih akan cocok juga untuk diterapkan. Tapi di sini saya merasa tidak perlu untuk langsung mengeluarkan "senjata pamungkas" itu, sebab sebenarnya hanya dengan memperhatikan teksnya secara biasa saja pun, sudah bisa diberikan bantahan yang cukup memadai untuk itu. Karena itu di sini saya hanya akan membagikan beberapa catatan saja dari saya untuk meng-clear-kan permasalahannya.

Inilah beberapa catatan dari saya:


1. "Mengaku dosa" tidak sama dengan "minta ampun"

"Mengaku dosa" hanyalah dengan jujur menerima keadaan kita sebagai manusia yang sudah berdosa di hadapan Tuhan (atau sebagai orang yang sudah jatuh ke dalam perbuatan-perbuatan yang berdosa). Sedangkan "minta ampun" berarti kita memohonkan (kepada Tuhan) supaya kiranya Dia berkenan untuk mengampuni kita dari dosa-dosa kita (atau dari dosa tertentu yang sudah kita perbuat).

Seseorang mungkin akan berkilah begini: "Ketika seseorang itu mengakui dosanya kepada Tuhan, tentulah itu akan dilanjutkan dengan meminta pegampunan dari Tuhan atas dosanya itu."

Tapi, bagaimana pun, itu hanyalah asumsi belaka... atau hanyalah sesuatu yang kita tambahkan (dari luar) kepada ayat itu. Sebab, yang pasti, di dalam ayat itu sama sekali tidak ada membicarakan tentang meminta pengampunan kepada Tuhan.

Jadi, ayat ini hanyalah membicarakan tentang "mengaku dosa" dan tidak ada membicarakan tentang meminta pengampunan kepada Tuhan. Bahkan kalau diperiksa ke seluruh konteksnya, kita juga tidak akan menemukan adanya singgungan tentang "minta ampun" kepada Tuhan di sana. Saya tidak tahu, entah dari mana orang-orang kok ujuk-ujuk'mengaitkan ayat ini dengan praktik atau ajaran tentang "minta ampun" kepada Tuhan.


2. Konteksnya di sini adalah "persekutuan"

Jika kita membaca ayat itu di dalam konteksnya kita akan mengetahui bahwa poin besar yang sedang dibicarakan di sana adalah tentang "persekutuan" (lih: ayat 3, 6, 7). Sebuah persekutuan itu memerlukan keterbukaan satu sama lain.

"Mengaku dosa" dalam kontek "persekutuan" maknanya tidak lain hanyalah begini: Sebagai orang Kristen, harusnya kita tidak perlu untuk menututup-nutupi keadaan kita. Sebab untuk apa kita masih menutup-nutupi keadaan kita, sedangkan kita memiliki Yesus Kristus yang sudah menanggung dan menghapus seluruh dosa dan ketidakbenaran kita dengan darah-Nya yang sudah tercurah di salib? Dengan kenyataan itu sebenarnya alangkah wajarnya kalau kita (yaitu sesama orang percaya) sekarang ini hidup dalam keterbukaan, tidak menyembunyikan apapun yang menjadi keadaan kita itu.


3. Yohanes tidak pernah mengajarkan praktik "mengaku dosa" itu sebagai sebuah ritual

Seperti yang sudah kita lihat dari poin yang sebelumnya, "mengaku dosa" di sini adalah dalam konteks "persekutuan"...dan berbicara "persekutuan" itu adalah berbicara tentang kehidupan (interaksi antar pribadi). Jadi bukan sesuatu yang mekanistik atau ritualistik.


4. Mengakui dosa bukanlah sebuah syarat untuk menerima pengampunan dosa

Kesalahpahaman ini nampaknya disebabkan oleh kata "jika" yang digunakan di sini. Apa lagi kalau kita hanya terpaku pada terjemahan seperti yang dibuat oleh LAI... maka akan terlihat sebagai sesuatu yang sudah sangat jelas bahwa itu adalah sebuah syarat. (Saya lebih suka dengan versi terjemahan KJV: "If we confess our sins, he is faithful and just to forgive us our sins, and to cleanse us from all unrighteousness.")

Pertimbangkan ini: Kalau kita mengartikan kata "jika" di sini sebagai syarat, itu berarti kita juga harus mengartikan pengampunan Tuhan kepada kita adalah (hanyalah!) sebagai sebuah janji.

Apakah benar pengampunan Tuhan untuk dosa-dosa kita masih merupakan sebuah janji belaka?

Jelas, saya akan membantah hal itu. Sebab sesungguhnya, Yesus SUDAH mati disalibkan bagi kita. Dan kematian-Nya itu adalah UNTUK DOSA2 KITA (yang sudah lalu, yang sekarang, dan yang akan datang). Ini bukan lagi SEBUAH JANJI. Tapi ini adalah FAKTA YANG SUDAH TERJADI... lebih dari 2000 tahun yang lalu. Amin.

Seluruh Dosa Kita Sudah Diampuni oleh Tuhan! Kapan? (Bag. II)


Di sini saya merasa perlu untuk mengklarifikasi apa sesungguhnya yang saya katakan di dalam tulisan saya pada status saya yang kemarin. Hal ini nampaknya perlu dilakukan sebab saya menengarai ada orang-orang yang sudah menyalahartikan apa yang saya katakan di sana. Saya rasa cara yang terbaik untuk itu adalah dengan memulainya dari sini...

APA YANG TIDAK SAYA KATAKAN....

Berikut ini saya akan daftarkan beberapa hal yang nampaknya beberapa orang telah menduga (secara salah!) bahwa seolah-olah saya mengatakannya (pada tulisan di status saya yang kemarin itu), padahal saya sama sekali tidak mengatakannya (atau pun memaksudkannya!).

  1. Saya tidak mengatakan bahwa kita tidak perlu untuk menyesal atas perbuatan-perbuatan dosa yang sudah kita lakukan. Adalah wajar sekali kalau kita menyesal atas perbuatan-perbuatan dosa yang kita lakukan...dan saya akan menjadi seorang yang bodoh (atau gila?) kalau saya mengatakan kita tidak perlu untuk menyesal atas hal itu.
  2. Saya tidak mengatakan bahwa kita tidak perlu menyalahkan diri kita atas perbuatan-perbuatan dosa kita itu. Bagaimanapun perbuatan-perbuatan dosa itu adalah perbuatan-perbuatan yang tidak sepatutnya untuk kita lakukan sebagai orang-orang Kristen, jadi alangkah wajarnya kalau kita menyalahkan diri kita sendiri karena sudah melakukan hal-hal yang tidak patut untuk kita lakukan itu. Yang penting di sini (ini juga berlaku untuk poin yang pertama tadi, tentang menyesal) jangan sampai kita tenggelam atau berlarut-larut di dalamnya (baik dalam menyesalinya maupun dalam menyalahkan diri kita karenanya).


(Setidaknya 2 poin inilah yang berhasil saya daftarkan untuk sekarang ini. Tentunya ini masih perlu untuk di up-date lagi, kapan-kapan ya.... :D  Masukan-masukan dari teman-teman tentunya juga diperlukan untuk lebih memperkaya update-annya nanti!)


APA YANG SAYA KATAKAN....

Apa yang saya katakan di dalam status saya yang kemarin itu hanyalah terkait dengan satu hal saja, yaitu tentang MEMINTA AMPUN. Atau, secara lebih lengkapnya, MEMINTA AMPUN ATAS DOSA-DOSA KITA KEPADA TUHAN.

Khusus untuk hal yang satu ini sajalah saya mengatakan bahwa kita (sebagai orang-orang Kristen atau umat Perjanjian Baru) SUDAH TIDAK PERLU LAGI UNTUK MELAKUKANNYA. Jadi, harap ini tidak dibawa atau dilebarkan ke mana-mana atau ke soal-soal yang lainnya.

Perhatikan jugalah bahwa saya menggunakan frasa "tidak perlu" di sana... dan itu tentulah tidak berarti atau tidak sama dengan "tidak boleh" (saya sengaja tidak memasukkan poin yang satu ini ke dalam daftar "apa yang tidak saya katakan" tadi, karena saya merasa akan mengganggu nanti terhadap jalan uraiannya, kalau saya memasukkannya di sana).

Jadi, kalau ada orang-orang yang masih merasa belum bisa kalau hanya dengan mempercayai saja bahwa kita SUDAH diampuni oleh Tuhan (khususnya dalam kasus-kasus atau dosa-dosa yang tertentu), dan merasa dia perlu untuk meminta ampunan atas dosa-dosanya (yang khusus) itu, silahkan saja dia melakukan hal itu. Tapi, sebaiknya hal itu tidak menjadi sebuah kebiasaan, yang akan terus menerus diulangi untuk kasus-kasus yang lainnya. Kita bisa memahami kalau orang yang sedang berada dalam kondisi yang lemah membutuhkan "tongkat" atau pertolongan yang khusus. Tapi "tongkat" itu haruslah dilihat hanya untuk sementara saja, bukan untuk digunakan selamanya. Demikianlah kita berharap kepada orang-orang yang untuk kasus-kasus tertentu masih merasa perlu untuk meminta ampun atas dosa-dosanya kepada Tuhan, semakin hari mereka akan semakin merasa kurang membutuhkannya untuk kasus-kasus yang selanjutnya.

Demikian sajalah untuk saat ini... saya harap klarifikasi ini bisa membuat menjadi lebih jelas/jernih permasalahannya dan menghindarkan kita dari kesalahpahaman (atau pun penyelewengan artinya, oleh orang-orang tertentu untuk tujuan-tujuan atau kepentingan mereka sendiri). Grace to u all.

Seluruh Dosa Kita Sudah Diampuni oleh Tuhan! Kapan?


Tahukah Anda, kapan tepatnya Tuhan mengampuni (dan menghapuskan!) seluruh dosa kita (dosa-dosa masa lalu, masa kini, dan masa depan kita)?

Itu terjadi lebih dari 2000 tahun yang lalu, yaitu ketika Yesus mati disalibkan bagi kita (Lih: Ibrani 9:22-28).

Tapi tahukah Anda, kapan pengampunan (dan penghapusan) dosa itu menjadi efektif bagi masing-masing kita secara pribadi?

Itu terjadi pada saat kita (masing-masing) percaya (atau menjadi orang percaya di dalam Kristus).
"Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya" (Yoh 1:12)
"Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal." (Yoh 3:16)
"Sebab di dalam Dia dan oleh darah-Nya kita beroleh penebusan, yaitu pengampunan dosa, menurut kekayaan kasih karunia-Nya" (Ef 1:7)

Jadi, sejak Anda menjadi orang percaya di dalam Kristus, pengampunan yang sudah diberikan oleh Tuhan melalui pengorbanan Yesus di salib itu sudah efektif menjadi milik Anda. Dosa-dosa Anda, yang mana pun itu dan yang kapan pun itu, semuanya SUDAH diampuni oleh Tuhan.

Kalau begitu, masih perlukah kita meminta ampun lagi atas dosa-dosa yang masih terjadi di masa kekinian kita?

Seharusnya sudah sangat jelas, bahwa hal itu sudah tidak diperlukan lagi! Sebab untuk apakah kita masih meminta suatu hal lagi kepada Tuhan, padahal hal tersebut sudah diberikan oleh-Nya kepada kita?? Atau tidak percayakah Anda bahwa pengampunan Tuhan kepada kita--melalui Korban Yesus di salib--sudah termasuk juga di dalamnya dosa-dosa masa kini kita? (Lalu, apakah Anda mempercayai ada jalan lain, selain Korban Yesus di salib, untuk pengampunan atas dosa-dosa kekinian anda?).

Kebanyakan orang Kristen yang masih mempraktikkan (dan mengajarkan) untuk meminta ampun atas dosa kita (khususnya dosa-dosa kekinian kita) mendasarkannya pada pengajaran Yesus dalam "doa Bapa kami" (Mat 6:9-13). Dan, sebagaimana yang sudah saya tunjukkan di dalam tulisan saya yang sebelumnya ("Sebuah Contoh Konkret Tentang Perbedaan antara Ajaran Paulus dan Ajaran Yesus"), sesungguhnya sekarang ini kita sudah tidak boleh lagi mendasarkan praktik-praktik dan ajaran-ajaran kita pada apa yang diajarkan oleh Yesus pada masa itu, sebab ketika itu Dia menujukan ajaran-ajaran-Nya bukan kepada kita (umat Perjanjian Baru), melainkan kepada orang2 Yahudi (umat Perjanjian Lama). Amin.

Minggu, 21 Agustus 2016

Sebuah Contoh Konkret Tentang Perbedaan antara Ajaran Paulus dan Ajaran Yesus

(Dan Solusi untuk Penjelasannya)


Saya perhatikan masih banyak di antara kita yang merasa berada dalam sebuah dilema, ketika berhadapan dengan pertanyaan: Benarkah ajaran2 Paulus berbeda dengan ajaran2 Yesus?

Soalnya, kita mungkin berpikir, kalau kita meng-iya-kan pertanyaan itu, gimana ya...?? Rasanya kok, gak nyaman banget bagi kita untuk mengatakan Paulus dan Yesus memang berbeda dalam ajaran2 mereka!

Tapi, kalau kita menyangkalinya atau menjawab "tidak" untuk pertanyaan itu, kita sendiri tidak yakin akan hal itu... sebab kita pun sering kali bertemu dengan ayat2 Alkitab yang menunjukkan adanya perbedaan itu.

Jadi, apakah solusinya untuk kita?

Di dalam komentar2 yang saya berikan kepada teman2 yang berespon pada tulisan saya di status saya yang kemarin (di FB Bro Julius), sebenarnya saya sudah memberikan jawaban/penjelasan mengenai hal itu. Tapi saya berpikir, mungkin tidak semua teman yang mengikuti penjelasan2 yang saya berikan pada kotak komentar itu, maka saya pun memutuskan untuk membuat sebuah tulisan/postingan khusus tentang hal itu (dan beginilah hasilnya. :) ).

Di dalam bagian Alkitab yang sudah sangat dikenal dengan sebutan "doa Bapa kami" (Matius 6:9-13, dan terutama di dalam penjelasan yang diberikan oleh Yesus sendiri di bawahnya: ay. 14-15) kita menemukan Yesus mengajar kepada orang2 bahwa pengampunan yang mereka terima dari Allah Bapa bergantung pada pengampunan yang mereka berikan kepada orang2 lain (yang bersalah kepada mereka).
"Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu." (Mat 6:14-15)

Jadi, pengampunan dari Bapa itu ada syaratnya, dan syaratnya itu adalah kita harus terlebih dulu mengampuni orang yang bersalah kepada kita. Itulah yang diajarkan oleh Yesus tentang pengampunan.

Bagaimanakah dengan Paulus dan ajarannya tentang pengampunan? Samakah dengan apa yang sudah diajarkan oleh Yesus itu?

Untuk menjawabnya, marilah kita memeriksa ke sebuah surat yang dituliskan oleh Paulus kepada salah satu jemaat yang dilayaninya, yaitu Efesus. Berikut ini adalah petikannya...
"Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu." (Ef 4:32)

Nampak jelas perbedaannya, kan?

Kalau di dalam pengajaran Yesus (sebagaimana yang sudah kita lihat tadi), pengampunan yang kita berikan kepada orang yang bersalah kepada kita ditaruh di depan, sehingga menjadi persyaratan untuk pengampunan yang akan kita terima dari Tuhan. Tapi, di sini Paulus menaruhnya (pengampunan yang kita berikan kepada orang yang bersalah kepada kita itu) di belakang, sehingga bukan lagi merupakan sebuah syarat untuk kita menerima pengampunan dari Tuhan, tapi hanyalah sebagai pendorong bagi kita untuk mengampuni orang yang bersalah kepada kita.

Pertanyaannya sekarang ini bukan lagi tentang benar atau tidaknya ajaran2 Paulus berbeda/bertentangan dengan ajaran2 Yesus. Sebab hal itu sudah menjadi jelas bagi kita sekarang ini (setidaknya dari pemeriksaan yang sudah kita lakukan di atas), yaitu memang benar ajaran mereka (Yesus dan Paulus) berbeda (atau bahkan bertentangan!). Tapi, pertanyaanya sekarang ini adalah: Bagaimana kita menjelaskan hal itu (perbedaan/pertentangan yang ada pada ajaran2 dari Yesus dan Paulus)?

Buat saya, tidak ada penjelasan yang lebih memuaskan dari pada yang satu ini, yaitu bahwa Yesus dan Paulus telah menyampaikan ajaran2 mereka kepada dua umat yang berbeda, atau dua umat yang berada di bawah Perjanjian (Covenant) yang berbeda. Yesus mengajar kepada umat Yahudi (yang masih berada di bawah Perjanjian Lama). Sedangkan Paulus mengajar kepada umat Kristen (yang sudah berada di bawah Perjanjian Baru).

Buat teman2 yang mau tahu lebih banyak lagi tentang (perbedaan) Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru ini, saya sangat menganjurkan untuk membaca (dengan baik2) tulisan terilham di dalam Ibrani dari pasal 7 sampai pasal 10.

Berikut ini hanyalah contoh ayat2 yang saya anggap perlu untuk digarisbawahi dari pasal2 tersebut.

Ibrani 7:11-12:
11-Karena itu, andaikata oleh imamat Lewi telah tercapai kesempurnaan--sebab karena imamat itu umat Israel telah menerima Taurat--apakah sebabnya masih perlu seorang lain ditetapkan menjadi imam besar menurut peraturan Melkisedek dan yang tentang dia tidak dikatakan menurut peraturan Harun?
12-Sebab, jikalau imamat berubah, dengan sendirinya akan berubah pula hukum Taurat itu. 

Ibrani 7:18-19:
18-Memang suatu hukum yang dikeluarkan dahulu dibatalkan, kalau hukum itu tidak mempunyai kekuatan dan karena itu tidak berguna, 
19---sebab hukum Taurat sama sekali tidak membawa kesempurnaan--tetapi sekarang ditimbulkan pengharapan yang lebih baik, yang mendekatkan kita kepada Allah.

Ibrani 8:8-13:
8-Sebab Ia menegor mereka ketika Ia berkata: "Sesungguhnya, akan datang waktunya," demikianlah firman Tuhan, "Aku akan mengadakan perjanjian baru dengan kaum Israel dan dengan kaum Yehuda,
9-bukan seperti perjanjian yang telah Kuadakan dengan nenek moyang mereka, pada waktu Aku memegang tangan mereka untuk membawa mereka keluar dari tanah Mesir. Sebab mereka tidak setia kepada perjanjian-Ku, dan Aku menolak mereka," demikian firman Tuhan.
10-"Maka inilah perjanjian yang Kuadakan dengan kaum Israel sesudah waktu itu," demikianlah firman Tuhan. "Aku akan menaruh hukum-Ku dalam akal budi mereka dan menuliskannya dalam hati mereka, maka Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku.
11-Dan mereka tidak akan mengajar lagi sesama warganya, atau sesama saudaranya dengan mengatakan: Kenallah Tuhan! Sebab mereka semua, besar kecil, akan mengenal Aku.
12-Sebab Aku akan menaruh belas kasihan terhadap kesalahan mereka dan tidak lagi mengingat dosa-dosa mereka. 
13-Oleh karena Ia berkata-kata tentang perjanjian yang baru, Ia menyatakan yang pertama sebagai perjanjian yang telah menjadi tua. Dan apa yang telah menjadi tua dan usang, telah dekat kepada kemusnahannya." (Ibr 8:8-13).

"Injil Paulus": Mengindikasikan adanya Dua Injil untuk Dua Umat yang Berbeda

Paulus menyebut Injil yang diberitakannya sebagai "Injilku" (lih: 2 Tim 2:8).

Pantaskah dia membuat sebutan yang seperti itu untuk Injil? Tidakkah itu menunjukkan kepongahan atau arogansi pada diri Paulus?

Harus ada alasan yang cukup kuat untuk itu, barulah apa yang dilakukannya itu bisa dibenarkan. Tapi kalau tidak, yaitu kalau alasan yang cukup kuat itu tidak ada, maka harus dikatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Paulus itu adalah sangat tidak patut. Saya sendiri pun akan menyebut Paulus orang yang sangat sombong, kalau memang tidak ada alasan yang cukup kuat untuk apa yang dia lakukan itu (=menyebut Injil sebagai Injilnya).

Tapi ketika saya memeriksa mengenai hal ini, puji Tuhan, saya temukan bahwa ternyata alasan untuk itu memang ada (yaitu alasan yang cukup kuat bagi Paulus sehingga dia bisa dibenarkan dalam menggunakan sebutan tersebut, "Injilku"). Dan alasan tersebut sangat terkait dengan panggilannya yang khusus, yaitu sebagai rasul (khusus) untuk bangsa2 bukan Yahudi atau bangsa2 di luar Israel. Hal itu membuat saya sadar bahwa Paulus memang pantas menyebut Injil dengan cara yang demikian itu, dan hanya dia seoranglah yang pantas untuk itu. Tidak ada seorang pun lagi yang lainnya yang pantas untuk melakukan hal yang seperti yang dia lakukan itu (menyebut Inji sebagai Injilnya), sebab memang hanya Paulus seoranglah yang telah pernah menerima panggilan yang se-khusus itu (dalam kaitan dengan tugas pemberitaan Injil).

Sebutan yang digunakan oleh Paulus untuk Injil yang dia terima dan beritakan itu sekaligus juga mengindikasikan kepada kita bahwa kepada Paulus telah dipercayakan Injil yang khusus, yang tidak sama dengan Injil yang diterima dan diberitakan oleh para rasul dan pemberita2 Injil lainnya. Sungguh dengan ini saya jadi semakin melihat bahwa memang dalam kenyataannya ada dua Injil atau dua macam Injil di Alkitab kita, yaitu:

1) Injil Kerajaaan Allah, dan...
2) Injil Kasih karunia Allah.

Yang pertama itu adalah apa yang diberitakan oleh Yohanes Pembaptis, oleh Yesus (pada masa pelayanan-Nya di bumi), dan oleh ke-12 rasul-Nya (dan pemberitaan mereka ini ditujukan HANYA kepada orang2 Yahudi/Israel). Sedangkan yang kedua itu adalah yang khusus merupakan Injil yang diterima dan diberitakan oleh Paulus (dan harusnya juga menjadi satu2nya Injil yang diterima dan diberitakan oleh gereja2 Kristen, yang terdiri dari orang2 yang berasal dari bangsa2 non-Yahudi/Israel!).

Kekhususan Injil Paulus itu dan bahwa Injilnya itu adalah secara khusus merupakan kabar baik tentang kasih karunia Allah (Injil kasih karunia Allah) bisa kita lihat juga dari pernyataan2 Paulus sendiri, yang secara satu perikop bisa kita baca di Efesus 3:1-12. Di sana Paulus menyebutkan setidaknya 2 hal yang pokok ini:

  1. Bahwa Injilnya itu adalah sesuatu yang sebelumnya masih dirahasiakan (oleh Tuhan) selama berabad-abad, dan baru kemudian dibukakan/dinyatakan (secara khusus dan secara pribadi) kepadanya.
  2. Bahwa tugas pemberitaan Injilnya itu tidak lain adalah "tugas penyelenggaraan kasih karunia Allah."

Silahkan Anda baca dan periksa sendiri juga, ya....

1-Itulah sebabnya aku ini, Paulus, orang yang dipenjarakan karena Kristus Yesus untuk kamu orang-orang yang tidak mengenal Allah 
2---memang kamu telah mendengar tentang tugas penyelenggaraan kasih karunia Allah, yang dipercayakan kepadaku karena kamu,
3-yaitu bagaimana rahasianya dinyatakan kepadaku dengan wahyu, seperti yang telah kutulis di atas dengan singkat.
4-Apabila kamu membacanya, kamu dapat mengetahui dari padanya pengertianku akan rahasiaKristus,
5-yang pada zaman angkatan-angkatan dahulu tidak diberitakan kepada anak-anak manusia,tetapi yang sekarang dinyatakan di dalam Roh kepada rasul-rasul dan nabi-nabi-Nya yang kudus,
6-yaitu bahwa orang-orang bukan Yahudi, karena Berita Injil, turut menjadi ahli-ahli waris dan anggota-anggota tubuh dan peserta dalam janji yang diberikan dalam Kristus Yesus.
7-Dari Injil itu aku telah menjadi pelayannya menurut pemberian kasih karunia Allah, yang dianugerahkan kepadaku sesuai dengan pengerjaan kuasa-Nya.
8-Kepadaku, yang paling hina di antara segala orang kudus, telah dianugerahkan kasih karunia ini, untuk memberitakan kepada orang-orang bukan Yahudi kekayaan Kristus, yang tidak terduga itu,
9-dan untuk menyatakan apa isinya tugas penyelenggaraan rahasia yang telah berabad-abad tersembunyi dalam Allah, yang menciptakan segala sesuatu,
10-supaya sekarang oleh jemaat diberitahukan pelbagai ragam hikmat Allah kepadapemerintah-pemerintah dan penguasa-penguasa di sorga,
11-sesuai dengan maksud abadi, yang telah dilaksanakan-Nya dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.
12-Di dalam Dia kita beroleh keberanian dan jalan masuk kepada Allah dengan penuh kepercayaan oleh iman kita kepada-Nya. (Ef 3:1-12).

Jadi, Injil Paulus adalah suatu berita yang sangat berbeda, karena isinya adalah terfokuskan kepada apa yang sudah dilakukan oleh Allah di dalam atau melalui Kristus bagi kita... bukan lagi berisikan hal2 yang harus atau yang perlu untuk kita lakukan bagi Tuhan (agar kita bisa selamat atau berkenan kepada-Nya).

Karena itu, marilah bersukacita bersama saya, menyambut "Injil Paulus" dan merayakannya, dan memberitakannya....agar sebanyak mungkin orang bisa turut bersukacita juga bersama kita karena telah menerima/percaya akan berita yang sangat menggembirakan ini, yaitu INJIL KASIH KARUNIA ALLAH. Haleluya! Amin.

Senin, 08 Agustus 2016

Dorongan untuk Lebih Mengacu kepada Ajaran-ajaran Yesus Ketimbang Ajaran-ajaran Paulus adalah sebuah Pembodohan!


Ada beberapa kalangan (di lingkungan keagamaan) sekarang ini yang nampaknya sedang menggalang suatu gerakan, yang tujuannya terfokuskan kepada satu nama (untuk diserang atau dijelek-jelekkan), yaitu: Paulus. Saya akan menyebut gerakan itu sebagai "gerakan pembusukan nama Paulus."

Salah satu yang ingin dicapai oleh gerakan itu adalah supaya kita (orang-orang Kristen) lebih mengacu kepada ajaran-ajaran Yesus (yang dicatat dalam ke-empat kitab Injil di Alkitab) ketimbang kepada ajaran-ajaran Paulus (yang terdapat di dalam surat-suratnya, yang tercantum di Alkitab kita). Orang-orang di dalam gerakan ini didorong oleh atau bergerak berdasarkan asumsi (dan/atau jalan pikiran) yang keliru, yang isinya kira-kira begini:

Yesus tentunya jauh lebih tinggi/mulia (dalam segalanya) ketimbang Paulus. Jadi, ketika Paulus mengajarkan hal yang berbeda dari apa yang diajarkan oleh Yesus, maka sudah sepatutnya kita lebih menerima apa yang diajarkan oleh Yesus ketimbang apa yang diajarkan oleh Paulus.

Sepintas kedengarannya apa yang mereka asumsikan itu sudah benar dan tidak mungkin untuk dibantah lagi. Tapi itu hanyalah hasil penangkapan yang sepintas saja. Sebab, seperti yang saya katakan di atas, itu adalah "asumsi yang keliru" dari mereka.

Mengapa saya menyebutnya sebagai "asumsi yang keliru"? Saya menyebutnya begitu karena yang sesungguhnya adalah....

  • Paulus adalah seorang rasul Yesus....seorang rasul yang khusus (kepada bangsa-bangsa di luar Israel) dan dengan tugas yang khusus pula (memberitakan Injil kasih karunia). Yesuslah yang memanggilnya dan memberikan tugas yang khusus itu kepadanya. Jadi, saat membagikan pengajaran-pengajarannya, Paulus hanyalah seorang yang menjalankan tugas sebagaimana yang diamanatkan (oleh Yesus) kepadanya. Karena itu mempertentangkan Paulus dengan Yesus adalah sesuatu yang terlalu dibuat-buat atau hanyalah permasalahan yang dicari-cari belaka... atau hanyalah karena ketidaktahuan semata (tentang adanya semacam "pembagian tugas" yang diemban oleh masing-masing dari kedua tokoh tersebut pada masa dan konteks, di mana mereka masing-masing menjalankan tugasnya).
  • Paulus adalah seorang rasul yang setia dan tidak ada catatan yang buruk/negatif tentangnya di dalam Akitab--sejauh yang menyangkut pelaksanaannya atas tugas/amanat yang diembannya dari Yesus. Kecuali di Alkitab ada catatan yang buruk tentang Paulus, terkait dengan ajaran-ajarannya, kita boleh mencurigainya dan ajaran-ajarannya itu. Tapi karena catatan buruk yang demikian itu sama sekali tidak terdapat di Alkitab, maka sudah semestinya setiap kecurigaan yang tertuju kepada ajaran-ajaran Paulus harus kita lihat sebagai racun yang ditebarkan oleh pihak lawan di antara kita. Ketimbang merangkul kecurigaan yang tidak pada tempatnya itu, seharusnya kita, dengan agresif, memeranginya dari antara kita.
(Catatan: Perkataan Petrus di 2 Petrus 3:15-16 memang sedikit berbau "tendensius" dari pihak Petrus, sebagai wakil rasul-rasul yang bertugas di antara orang-orang Israel. Tapi walau bagaimanapun itu bukanlah sebuah catatan yang buruk tentang Paulus dan ajaran-ajarannya. Itu hanyalah patut kita lihat sebagai sebuah konfirmasi saja untuk kita sekarang ini, yaitu bahwa dari sejak awalnya sudah ada resistensi terhadap Paulus dan ajaran-ajarannya di lingkungan jemaat yang berlatarbelakang agama Yahudi. Motifnya bisa jadi kedengkian, tapi kebanyakannya adalah karena kesalahpahaman mereka belaka terhadap Paulus dan misi khusus yang diembannya).
  • Yesus dan Paulus berbicara kepada umat yang berbeda (dan yang sudah berada di bawah Perjanjian yang berbeda pula!). Sementara Yesus berbicara kepada umat yang masih berada di bawah Perjanjian Lama, Paulus berbicara kepada umat yang sudah berada di bawah Perjanjian Baru. Jadi, tentulah tidak mengherankan kalau keduanya mengatakan/mengajarkan hal-hal yang berbeda (bahkan cenderung berlawanan!), karena memang mereka tidak sedang berbicara kepada umat yang sama, melainkan kepada umat yang berbeda (Yesus kepada umat Yahudi; Paulus kepada umat Kristen).

Perjanjian (Covenant) yang berbeda pastilah menyertakan syarat-syarat yang berbeda pula (yang diberlakukan kepada masing-masing pihak yang terlibat di dalam Perjanjian tersebut). Alangkah menjadi sebuah kebodohan jika kita mencomot sebuah syarat yang berlaku di bawah Perjanjian yang satu lalu memaksakan pemberlakuannya di bawah Perjanjian yang lain. Begitulah bodohnya orang-orang Kristen (yang sekalipun berhati tulus!) mencoba untuk memberlakukan syarat-syarat dari Perjanjian Lama kepada kita yang sekarang ini sudah berada di bawah Perjanjian Baru, yang hampir dalam keseluruhannya sudah sangat jauh berbeda dengan Perjanjian yang sebelumnya itu, Perjanjian Lama.

Kebodohan yang sama itulah yang sedang dilakukan (dan dipromosikan!) oleh orang-orang yang mengatakan ajaran-ajaran Paulus patut untuk kita curigai, dan sejauh ajaran-ajarannya itu berlawanan dengan ajaran-ajaran Yesus (di kitab-kitab Injil), kita patut untuk menolaknya (atau cukup mengabaikannya saja!), dan lebih menerima ajaran-ajaran Yesus itu saja bagi kita. Saya harap Anda sudah tidak lagi menjadi korban dari pembodohan yang seperti ini. Amin.

Jumat, 05 Agustus 2016

Siapakah Tokoh di Alkitab yang Paling Berpengaruh bagi Anda?


Jika kepada orang2 Kristen sekarang ini (termasuk para pendeta/pengkhotbah) ditanyakan: tokoh mana di dalam Alkitab yang paling berpengaruh bagi mereka (selain Yesus)? Maka kita akan mendapati kebanyakan jawaban yang diberikan akan berada di sekitaran tokoh2 ini: Abraham, Musa, Yosua, Elia, Daud, dan Daniel. Sedikit sekali yang akan mengajukan dari kalangan murid Yesus yang dua belas itu. Dan, jauh lebih sedikit lagi yang akan menjawab: Paulus.

Menurut saya, itu adalah bencana! Ya, bencana dalam Kekristenan. Dan itu sekaligus juga adalah merupakan bukti dari kegagalan mayoritas pengajaran yang diberikan di lingkungan Kekristenan selama ini. Itu juga berarti mayoritas pengajar di lingkungan Kristen (sarjana2 teologi, pendeta2, dan pengkhotbah2) telah menjadi ngawur di dalam pengetahuan yang mereka miliki dan yang mereka ajarkan kepada umat selama ini.

Sebab, bagaimana mungkin kita--sebagai orang2 Kristen, umat Perjanjian Baru--justu menjadi lebih dekat atau lebih banyak dipengaruhi oleh tokoh2 dari luar Kekristenan, ketimbang tokoh2 yang berasal dari dalam Kekristenan sendiri...???

Sebenarnya, siapakah tokoh yang paling dekat dengan kita, yaitu khususnya kita orang2 Kristen yang berasal dari bangsa2 kafir (di luar Israel)? Paulus, kan?

Ya! Paulus. Sebab, dialah sang rasul khusus untuk kita (bangsa2 non-Israel/Yahudi).

Bukankah hal itu seharusnya sudah sangat jelas bagi kita semua? Bukankah pengetahuan tentang hal itu (seharusnya) sudah didapakan bahkan oleh "anak2 sekolah minggu" kita?

Tapi, kenapa kita sekarang ini nampaknya sudah begitu jauh dari kebenaran dasar itu? Kenapa Paulus tidak menjadi tokoh yang paling banyak dipilih atau dijadikan sebagai tokoh yang paling berpengaruh bagi kita?

Saya curiganya, begini: Jangan2 karena hal itu hanya dilihat sebagai sebuah (pengetahuan) dasar bagi kita, maka untuk selanjutnya hal itu sudah tertinggalkan di bawah atau di belakang kita... dan segera hal2 yang lainnya pun tertumpukkan di atasnya. Dan akhirnya kita pun menjadi lupa dengannya (dasar kita itu). Lalu, ketika ada pengajaran2 tertentu yang kedengarannya sangat bagus dan terkesan "lebih tinggi" atau "lebih mendalam" atau "lebih rohani", kita pun langsung menerimanya, tanpa memeriksa atau membandingkannya lagi dengan dasar yang sudah kita miliki sebelumnya. Maka akhirnya kita pun memiliki Kekristenan seperti yang ada sekarang ini: "Kekristenan campuran" atau "Kekristenan gado-gado."

Disebut "Kekristenan campuran" karena walaupun di awalnya masih menerima Yesus sebagai Mesias/Kristus/Juruselamat, tapi untuk selanjutnya masih berkiblat kepada dan mengadopsi spiritualitas Perjanjian Lama atau Yudaisme (seolah-olah kita tidak punya spiritualitas yang otentik, yaitu yang murni Kristen--spiritualitas Perjanjian Baru!).

Jadi, kalau Anda adalah orang Kristen, banggalah dengan Kekristenan itu! Kenalilah Kekristenan itu, berikut dengan spiritualitasnya yang otentik. Dan hal itu, tidak bisa tidak, akan membuat Anda menjadi merasa sangat dekat, sangat terhubungkan, dan sangat dipengaruhi oleh seorang tokoh di Alkitab: Paulus.

Selain Yesus, Pauluslah tokoh Kristen yang paling berpengaruh (untuk semua orang yang berasal dari bangsa2 non-Israel). Ketahuilah itu. Hiduplah sesuai dengan kebenaran itu. Amin.

Senin, 01 Agustus 2016

Percayalah, di Mata Tuhan Anda Sudah Selalu Benar, dan Dia Tidak Sedang Menghukum Anda!


Kita diberkati karena kita adalah orang benar (dibenarkan). Kristus telah membebaskan kita dari kutuk hukum Taurat dengan menjadi kutuk bagi kita, sehingga kita dapat mengalami berkat Abraham (Lihat Galatia 3:9-14). Jika kita tidak mengerti ini, setiap kali sesuatu berjalan salah dalam hidup kita, kita akan berpikir bahwa Allah sedang membalas beberapa dosa pribadi dan bahkan dosa keturunan. Banyak orang Kristen hidup seperti ini.


Berkat Abraham

Marilah kita melihat sebuah contoh tentang berkat kebenaran dalam kehidupan Abraham. Ketika ia pergi ke Mesir, ia takut pada orang Mesir. Isterinya cantik dan ia takut orang-orang Mesir akan membunuh dia sehingga mereka dapat memiliki Sara. Jadi ia berkata kepada Sara, “Katakan kau adalah saudaraku.”

Mereka melanjutkan rencana ini sampai pada titik Firaun membawa Sara ke dalam istananya. Ia hampir akan tidur dengan Sara sampai Allah menulahi dia dan rumahnya dengan “tulah-tulah besar.”

Ketika penyebab mengapa tulah ini terjadi tersingkap, Firaun menyalahkan Abraham karena bersikap seperti ini. Ia kemudian mengembalikan Sara kepada Abraham dan memberinya banyak domba, kambing, budak, perak, emas, dll.

• Pertanyaan: Siapa yang berdosa?
• Jawaban: Abraham.
• Pertanyaan: Siapa yang terkena tulah?
• Jawaban: Firaun.
• Pertanyaan: Siapa yang diberkati?
• Jawaban: Abraham.


Tidak Adil!

Pada titik ini saya hampir dapat mendengar seruan, “Tidak adil!”  Mungkin Anda bahkan berpikir saya telah salah membaca Alkitab. Tidak, saya tidak salah. Bahkan sebuah situasi yang hampir sama terjadi beberapa waktu kemudian ketika Abraham pergi ke Tanah Gerar. Raja Gerar, Abimelekh, juga dibuat percaya bahwa Sara adalah saudara Abraham. Jadi Abimelekh mengambil Sara dengan maksud memperisterinya.

Tapi Allah datang kepadanya dalam mimpi dan berkata, “Jika kau menyentuh wanita ini kau akan mati! Ia sudah menikah. Sekarang kembalikan dia kepada suaminya, kalau tidak kau akan mati!” Abimelekh bangun pagi-pagi keesokan harinya dan mengembalikan Sara kepada Abraham dan memberinya banyak domba, kambing, budak-budak, dan juga perak.

• Pertanyaan: Siapa yang berdosa?
• Jawaban: Abraham.
• Pertanyaan: Siapa yang dihardik Allah?
• Jawaban: Abimelekh.
• Pertanyaan: Siapa yang diberkati?
• Jawaban: Abraham.

Tampaknya dari perikop ini bahwa Abraham tidak melakukan ini hanya sekali atau dua kali; itu adalah kelakuannya kemanapun ia pergi (lihat Kejadian 20:13). Jadi bagaimana bisa Allah, yang mengutuk umat manusia karena dosa, tidak menghukum Abraham karena dosanya? Bahkan, Ia memberkati dia sementara ia berbuat dosa! Alasannya adalah meskipun Abraham berdosa, tapi ia benar selamanya.

Allah tidak memperhitungkan dosa kepada orang benar. Dalam Roma 4, ketika Paulus membahas kebenaran kita di dalam Kristus, ia mengutip Daud yang berkata, “Berbahagialah orang yang diampuni pelanggaran-pelanggarannya, dan yang ditutupi dosa-dosanya berbahagialah manusia yang kesalahannya tidak diperhitungkan Tuhan kepadanya” (Roma 4:7-8). Di bawah Perjanjian Baru, Allah berjanji: “Sebab Aku akan menaruh belas kasihan terhadap kesalahan mereka dan tidak lagi mengingat dosa-dosa mereka” (Ibrani 8:12).

Ada konsekuensi atas perbuatan salah. Jika kita menabur dalam daging, dari daging kita akan menuai kebinasaan—bukan dari Allah (lihat Galatia 6:8). Allah tidak memperhitungkan dosa-dosa kita kepada kita karena mereka telah diperhitungkan kepada Kristus. Sebagai gantinya, kebenaran Kristus selalu diberikan kepada kita. Itulah sebabnya tidak ada penghukuman bagi mereka yang ada di dalam Kristus—tidak sekarang, tidak akan pernah selamanya. Kita diberkati karena Yesus!

Itulah kabar baik dari injil kasih karunia: “Sebab Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya oleh Kristus dengan tidak memperhitungkan pelanggaran mereka” (2 Korintus 5:19—penekanan ditambahkan). Dan jika Anda ada di dalam Kristus, Allah tidak akan pernah memperhitungkan dosa-dosa Anda kepada Anda.

------------------------------------------------------------------------
Sumber: Ken Legg ("Grace Roots", LIGHT PUBLISHING)

Sudahkah Anda Tunduk pada Kebenaran Allah?


Paulus menggambarkan tentang orang-orang Yahudi bahwa “mereka sungguh-sungguh giat untuk Allah, tetapi tanpa pengertian yang benar” (Roma 10:2). Seperti banyak orang-orang agamawi, mereka tulus tapi benar-benar tulus yang salah. Paulus kemudian melanjutkan untuk mengidentifikasi area utama di mana semangat mereka yang salah itu terlihat jelas. Ia berkata, “Sebab, oleh karena mereka tidak mengenal kebenaran Allah dan oleh karena mereka berusaha untuk mendirikan kebenaran mereka sendiri, maka mereka tidak takluk kepada kebenaran Allah” (Roma 10:3).

Orang-orang kafir diciri-cirikan dengan ketidakbenaran, tapi orang-orang Yahudi diciri-cirikan dengan kebenaran diri sendiri. Orang-orang kafir makan dari sisi ‘jahat’ Pohon pengetahuan yang baik dan jahat, dan orang-orang Yahudi makan dari sisi ‘baik’ pohon yang sama. Setan tidak keberatan dari sisi mana Anda makan selama Anda makan dari pohon itu. Allah ingin kita mengambil bagian dari Pohon Kehidupan, yaitu Anak-Nya Yesus Kristus, karena Ia telah diberikan kepada kita sebagai kebenaran kita.

Sayangnya, upaya-upaya manusia untuk membangun kebenaran mereka sendiri tidak terbatas pada orang Yahudi. Itu adalah intisari dan dan hakekat dari semua agama. Itulah sebabnya pesan dari injil kasih karunia sangat unik dan sangat indah. Kebenaran tidak akan pernah diperoleh dengan usaha-usaha kita sendiri. Upaya terbaik kita tidak akan pernah cukup baik. Kita akan selalu jauh dari kemuliaan Allah. Tapi Allah telah memberi kita kebenaran-Nya secara cuma-cuma di dalam Yesus.

Anak Domba Allah adalah kebenaran Allah

Ketika seorang Yahudi membawa seekor anak domba kepada seorang imam untuk dipersembahkan bagi dosa-dosanya, pada saat imam itu mengambil anak domba itu, orang Israel tersebut tidak lagi di bawah penyelidikan. Dari sejak saat itu, fokusnya berubah kepada anak domba itu, dan satu-satunya hal yang harus diperhatikan adalah apakah domba itu bercacat cela atau tidak.

Yesus adalah Anak domba Allah yang tak bercacat cela. Di sepanjang seluruh kehidupan-Nya di bumi, ia tidak melakukan dosa. Ia tidak mengenal dosa dan di dalam Dia tidak ada dosa. Ia memenuhi kebenaran dengan ketaatan-Nya yang sempurna kepada Allah. Ia taat sampai mati, bahkan mati di kayu salib di mana dosa kita menerima penghakimannya yang benar sekali untuk selamanya. Ini adalah kebenaran Allah.

Semua yang pernah dituntut kebenaran Allah dari seorang manusia sepenuhnya digenapi oleh Yesus yang mewakili kita. Ia adalah Pribadi yang dengannya Allah berkenan, dan kita sempurna di dalam Dia! Di kayu salib, Allah membuat Yesus, yang tidak mengenal dosa, menjadi dosa bagi kita. Dan sebagai gantinya, kebenaran-Nya diberikan kepada kita. Ia sekarang adalah kebenaran kita (1 Korintus 1:30). Itu adalah nama-Nya, Yehovah Tsidkenu, Tuhan kebenaran kita (lihat Yeremia 23:6 KJV).

Oleh Ketaatan Siapa Anda Dibenarkan?

Dosa kita yang manakah yang dilakukan Yesus untuk membuat-Nya berdosa? Tak satupun; dosa-dosa kita ditimpakan kepada Dia. Perbuatan benar-Nya yang manakah yang bisa kita lakukan untuk menjadi benar? Tak satupun; kebenaran-Nya diberikan kepada kita, atau ditaruh dalam rekening kita. Atas dasar pertukaran maha besar itu, Allah telah membenarkan kita, yaitu menyatakan kita menjadi benar. Ini adalah ‘pernyataan abadi’-Nya berkenaan dengan kita. Di samping itu, Ia akan selalu memperlakukan kita sebagai orang benar, karena itulah jati diri kita sekarang.

Orang-orang Yahudi, seperti banyak orang-orang agamawi, membuat kesalahan dengan berpikir bahwa mereka dapat menjadi benar oleh perilaku mereka, khususnya dengan ketaatan mereka pada hukum Taurat. Mereka membuat kesalahan ini karena mereka tidak mengetahui kebenaran Allah. Jalan kebenaran Allah bukanlah melalui berperilaku yang benar tapi melalui percaya yang benar. Kita tidak berperilaku baik untuk menjadi benar; kita percaya dan kita dibenarkan.

Oleh ketaatan siapa Anda dibuat benar—ketaatan Anda atau ketaatan Dia? Alkitab tidak meninggalkan keraguan bagi kita: “Jadi sama seperti oleh ketidaktaatan satu orang semua orang telah menjadi orang berdosa, demikian pula oleh ketaatan satu orang semua orang menjadi orang benar” (Roma 5:19).

Ia taat; kita percaya—itulah kebenaran Allah. Sudahkah Anda tunduk kepada kebenaran Allah?

-----------------------------------------------------------------------
Sumber: Ken Legg ("Grace Roots", LIGHT PUBLISHING)

Kamis, 21 Juli 2016

Kekristenan itu Utamanya adalah Soal Iman, Bukan Soal Perbuatan!


Sekarang ini saya paling tidak suka kalau membaca/mendengar pernyataan yang isinya kira-kira seperti ini:

Sebagai orang Kristen, yang penting bukan seberapa banyak kita mengimani/mempercayai firman Tuhan, tapi seberapa banyak kita mempraktikkan/melakukannya.

Dulu, memang saya pun pernah ikut-ikutan juga dalam mengemukakan pernyataan yang seperti itu kepada orang2 lain. Tapi sekarang ini, bisa dikatakan, saya sangat "alergi" dengan itu.

Mengapa saya tidak suka dengan pernyataan yang seperti itu?

Sebab pernyataan seperti itu sebenarnya sama saja dengan mengatakan Kekristenan itu adalah (terutama) soal perbuatan, bukan soal iman/percaya. Dan itu tentu saja bertolak belakang secara langsung dengan Injil. Sebab Injil memberitahu kita bahwa Kekristenan itu (utamanya) adalah soal iman/percaya, dan bukan soal perbuatan.

Itulah sebabnya nama/sebutan lain dari orang Kristen adalah ORANG PERCAYA (believer).... bukan "orang perbuatan".

Iya, kan?  :D

----------------------------------------------------------

CATATAN:


  1. Ingatlah, Injil itu adalah BERITA/KABAR (yang BAIK) untuk dipercayai, bukan NASIHAT (yang BAIK) untuk dilakukan. Agamalah yang terdiri dari nasihat2 yang baik. Jangan mengacaukan Injil dengan agama!
  2. Bukan berarti saya mengatakan perbuatan itu tidak perlu bagi orang Kristen. Tentu saja perbuatan itu perlu. Tapi kita tidak perlu berfokus pada perbuatan. Kita harus berfokus pada iman. Sebab iman yang benarlah yang akan menghasilkan perbuatan yang benar, bukan perbuatan yang benar yang akan menghasilkan iman yang benar.

Hal yang Paling Diinginkan oleh Yesus dari Kita


Tahukah anda apa sebenarnya--hal yang paling mendasar/utama--yang diinginkan oleh Yesus dari kita?

Apakah agar kita menyembah-Nya?

Tidak! Bukan itulah yang sesungguhnya sangat Dia inginkan dari kita. Tentu saja Dia adalah Tuhan, dan karenanya Dia patut untuk disembah. Tapi bukan itulah yang paling Dia inginkan dari kita. Sebab untuk itu Dia tidak perlu datang ke dunia, menjelma menjadi manusia, menderita dan mati disalibkan. Iya, kan? Dia toh sudah menjadi Tuhan, sebelum Dia melakukan semuanya itu!

Apakah supaya kita melakukan semua yang diajarkan-Nya?

Tidak. Sebab sekalipun benar bahwa Dia adalah seorang Guru yang Agung dan apa yang diajarkan-Nya semua adalah kebenaran belaka... tapi kebanyakan dari ajaran-ajaran yang diberikan-Nya pada masa itu hanyalah diperuntukkan bagi orang-orang pada masa itu saja. Sebab memang pada masa itu belum ada umat Kristen (dan Perjanjian Baru belum dimulai secara resmi; sebab itu hanya akan dimulai setelah pengorbanan atau pencurahan darah-Nya di salib).

Apakah supaya kita menjadikan Dia sebagai teladan bagi kita?

Tidak. Sebab sekalipun tentunya ada hal-hal dari apa yang pernah dilakukan oleh-Nya (dan itu menggambarkan karakter-Nya yang mulia) bisa menjadi inspirasi (pendorong/penyemangat) bagi kita untuk berbuat hal yang sama. Tapi bukan itulah yang paling Dia inginkan dari kita. Mengapa? Sebab Dia bukanlah yang terutama sebagai teladan bagi kita.

Jadi, apakah yang sangat diinginkan-Nya...?

Yang sangat diinginkan-Nya dari kita hanyalah supaya kita PERCAYA kepada-Nya.

Lalu, apakah yang paling Dia inginkan untuk kita mempercayai-Nya? Bukankah bahwa Dia adalah Tuhan yang patut untuk kita sembah? Atau bahwa Dia adalah Guru Agung yang mengajarkan kebenaran-kebenaran tertinggi untuk kita jalankan? Atau bahwa Dia adalah Sang Teladan Agung yang sudah sepantasnya untuk kita ikuti teladan-Nya?

Bukan.

Yang terutama Dia inginkan untuk kita PERCAYA kepada-Nya adalah bahwa Dialah JURUSELAMAT kita, yang menyelamatkan kita dari DOSA (dan hukumannya), dan menyelamatkan kita ke dalam PERSEKUTUAN YANG KEKAL DENGAN ALLAH. Amin.

Selasa, 19 Juli 2016

Satu-satunya Cara yang Berhasil untuk Menjadi Orang Kristen


Menjadi orang Kristen (yaitu hidup seperti yang diinginkan atau yang dikehendaki oleh Tuhan bagi kita) itu bukan hanya sulit, dan itu juga bukan sangat sulit, tapi... itu mustahil!

Hanya Yesus seorang sajalah yang bisa.

Dan, itu artinya, supaya kita juga bisa menjadi orang Kristen, maka hanya ada satu saja caranya/jalannya (yang bisa kita tempuh) untuk itu, yaitu dengan melalui Yesus.

Apakah artinya itu?

Itu artinya kita tidak bisa menjadi orang Kristen dengan cara yang langsung, tapi hanya bisa dengan cara yang tidak langsung--yaitu, sekali lagi, melalui Yesus.

Ini disebut juga sebagai cara perwalian atau perwakilan. Di sini Yesus bertindak sebagai wakil atau wali bagi kita.

Beginilah cara kerjanya: Untuk semua hal yang harus atau untuk semua hal yang diwajibkan (oleh Tuhan) kepada kita untuk melakukannya (agar kita bisa mencapai ideal kita atau sasaran kita yang tertinggi itu, yaitu memiliki atau menjalani hidup seperti yang diinginkan atau yang dikehendaki oleh Tuhan bagi kita) Yesuslah yang (sudah) melakukannya bagi kita. Dia melakukan semuanya itu sebagai wakil kita atau sebagai pengganti kita (=orang2 yang percaya kepada-Nya). Sehingga, semua yang dilakukan-Nya itu diperhitungkan (oleh Tuhan) kepada kita--seolah-olah kitalah yang tadinya sudah melakukan semuanya itu. Atau, dengan kata lain, (sekarang ini) kita dianggap sebagai orang2 yang sudah melakukan semuanya itu (dengan apa yang sudah dilakukan oleh Yesus bagi kita itu)!

Hanya inilah satu-satunya cara/jalan (yang berhasil!) untuk menjadi orang Kristen. Semua cara/jalan yang lainnya sudah pasti gagal! Begitu.

Syarat untuk Berbuah Bagi Allah: "Mati bagi Hukum Taurat"

"Sebab itu, saudara-saudaraku, kamu juga telah MATI BAGI HUKUM TAURAT oleh tubuh Kristus, supaya kamu menjadi milik orang lain, yaitu milik Dia, yang telah dibangkitkan dari antara orang mati, agar kita BERBUAH BAGI ALLAH." (Roma 7:4)
Ternyata Tuhan tidak menghendaki kita untuk mati hanya bagi hal-hal yang jahat/buruk saja (seperti: daging atau manusia lama, dan dunia), tapi Dia menghendaki kita untuk mati bagi hal yang baik dan suci juga, seperti hukum Taurat. (Di ayat-ayat Alkitab yang lain) hukum Taurat itu juga dikatakan "rohani" dan "berasal dari Allah."

Patut untuk dipertanyakan: Kenapa Tuhan menghendaki supaya kita mati bagi hal yang baik dan rohani seperti hukum Taurat ini?

Jawabannya menurut hemat saya begini: Itu karena bukan hanya hal-hal yang (pada dirinya) jahat/buruk saja yang bisa merusak atau menjadi racun bagi kerohanian kita, tapi hal-hal yang pada dasarnya baik atau rohani sekalipun, tapi kalau itu bukan dimaksudkan untuk kita (orang-orang Kristen), akan bisa merusak (menjadi racun) juga!

Hukum Taurat tadinya diperuntukkan bagi bangsa Israel (umat Yahudi) dan itu dimaksudkan hanya sebagai "penuntun" sampai pada kedatangan Kristus. Dan karena kita sekarang ini sudah berada di dalam Kristus, kita sudah tidak memerlukan hukum Taurat lagi. Memaksakan hukum Taurat untuk berperan lagi di dalam kerohanian kita sebagai orang Kristen, pasti akan membawa akibat-akibat yang merusak ke dalamnya. Jadi, itulah mengapa kita harus mati bagi hukum Taurat.

Kalau kita gagal dalam hal ini atau kita tidak mati bagi hukum Taurat tentunya, seperti yang sudah disebutkan tadi, kerohanian kita akan dirusak--entah apa atau bagaimanapun bentuk dari kerusakan tersebut! Tapi kalau kita benar-benar mati bagi hukum Taurat maka, menurut ayat Alkitab ini, kita akan BERBUAH BAGI ALLAH.

Itu membuat saya berpikir begini tentang orang-orang Kristen yang masih menjalani hidup kerohanian mereka di bawah hukum Taurat: Sekalipun tampaknya mereka itu adalah orang-orang yang taat (kepada hukum-hukum Tuhan), tapi itu hanyalah ketaatan yang semu (dan yang cenderung munafik!) semata. Dan apa yang mereka tampilkan itu tidak lebih hanyalah "buah plastik" belaka!

Mengapa?

Sebab hanya orang-orang yang menjalani hidup kerohaniannya di bawah kasih karunia saja (yaitu yang sudah mati bagi hukum Taurat) yang benar-benar akan menghasilkan BUAH yang sejati bagi kemuliaan Allah.

NB: Perlu juga diperhatikan bahwa soal matinya kita bagi hukum Taurat ini adalah suatu hal yang sudah terjadi pada kita, jadi bukan merupakan suatu hal yang masih perlu untuk kita upayakan (atau meraihnya) lagi. Apa yang diperlukan di sini hanyalah untuk kita melihatnya demikian, yaitu bahwa--di dalam persekutuan dengan Kristus--kita sudah mati bagi hukum Taurat. Itu saja.

Selasa, 05 Juli 2016

Ini Untuk Orang-orang Kristen yang Sok Moralis....


Sering kali orang-orang terlalu lugu... saking lugunya jadi bodoh.

Dikiranya memiliki hidup yang bermoral itu harus dicapai dengan satu cara saja, yaitu dengan berusaha (secara langsung) melakukan hal-hal yang bermoral atau dengan mentaati aturan-aturan moral.

Padahal, kalau ada cara lain (apa lagi kalau cara itu lebih efektif dari cara-cara yang sudah dikenal!), kenapa harus terus ngotot dengan cara-cara yang sudah lazim itu?? (Apa lagi sudah umum diketahui bahwa dengan cara ini belum pernah ada seorang pun yang benar-benar berhasil mencapai sasaran yang diharapkan!). Bukankah seharusnya kita terbuka untuk cara-cara lainnya, yang bisa saja lebih efektif?

Dan cara yang lebih efektif itu adalah dengan berfokus kepada kasih dan penerimaan Tuhan kepada kita, atau menjalani hidup kita dengan kesadaran bahwa (dalam Kristus) Tuhan sudah menerima kita apa adanya kita, dan Dia sangat tergila-gila dalam kasih-Nya kepada kita.

Kalau seseorang menjalani hidupnya dengan cara yang seperti ini...mungkinkah dia akan betah untuk hidup dalam kesalahan/kejahatan/kebejatan...??

Jawabnya: Mustahil!!

Orang itu pasti akan mengalami perubahan secara revolusioner di dalam dirinya... dan kemudian perubahan itu pun akan menjadi nyata juga di dalam kehidupan sehari-harinya (suatu perubahan hidup yang bahkan akan melampaui apa yang dicita-citakan oleh para pejuang moralitas yang paling terdepan!).

Percayalah!

Senin, 04 Juli 2016

"Hyper-Grace" Versus "Mix-Grace"


Apakah perbedaan yang pokok dan paling mendasar antara kaum (yang disebut sebagai penganut) "hyper-grace" dengan pihak yang menentangnya (bisa disebut sebagai penganut "mix-grace")?

Apakah karena yang satu mementingkan 'grace' dan yang lainnya tidak mementingkan 'grace'?

Bukan begitu. Sebab sebenarnya keduanya sama-sama melihat 'grace' itu (sangat) penting.

Tapi, perbedaan yang sesungguhnya itu adalah karena yang satu (penganut "hyper-grace") melihat/menjadikan 'grace' sebagai satu-satunya asas untuk keselamatan dan hubungan kita dengan Tuhan. Sedangkan yang lainnya (penganut "mix-grace") melihat 'grace' hanyalah sebagai salah satu unsur yang (sangat) penting untuk keselamatan dan hubungan kita dengan Tuhan.

Para penganut "mix-grace" akan mengatakan kira-kira seperti yang berikut ini.

"Saya setuju dengan kasih karunia, tapi jangan cuma kasih karunia doang lah! Kasih karunia itu sangat kita perlukan dalam kerohanian kita, tapi tidak cukup kalau hanya kasih karunia saja. Harus disertai juga dengan yang lain-lainnya lagi."

Max Lucado mengungkapkannya begini:
“Bukannya [orang-orang Kristen tertentu...] tidak percaya sama sekali pada kasih karunia. Mereka percaya. Mereka sangat percaya akan kasih karunia. Mereka hanyalah tidak percaya pada kasih karunia sendiri saja [tanpa disertai dengan yang lain-lainnya].”
--WwvvvvvvvvvwW--
“It wasn’t that [certain Christians...] didn’t believe in grace at all. They did. They believed in grace a lot. They just didn’t believe in grace alone.”
~Max Lucado ("Grace: More Than We Deserve, Greater Than We Imagine")

Minggu, 03 Juli 2016

Mengapa Para Pengkhotbah Kasih Karunia Cenderung Memperlawankan HukumTaurat dan Kasih Karunia?

Beberapa orang mempertanyakan begini: Mengapa para pengkhotbah kasih karunia kelihatannya suka sekali memperlawankan antara hukum Taurat dan kasih karunia? Bukankah kedua-duanya itu adalah baik, dan sama-sama berasal dari Tuhan juga? Jadi, kenapa harus diperlawankan?

Saya harus mengatakan bahwa itu adalah sebuah pengamatan yang keliru.

Mengapa?

Sebab sesungguhnya bukan pengkhotbah kasih karunia yang memperlawankan antara hukum Taurat dengan kasih karunia, tapi Tuhan sendiri--di dalam Alkitab--yang membuat perlawanan itu.

Benarkah demikian? Atau, itu hanyalah opini saya semata?

Berikut ini adalah beberapa ayat dari Alkitab yang dengan sangat jelas mengungkapkan tentang hal itu....

"sebab hukum Taurat diberikan oleh Musa, tetapi kasih karunia dan kebenaran datang oleh Yesus Kristus." (Yohanes 1:17)
"Sebab kamu tidak akan dikuasai lagi oleh dosa, karena kamu tidak berada di bawah hukum Taurat, tetapi di bawah kasih karunia." (Roma 6:14)
"Kamu lepas dari Kristus, jikalau kamu mengharapkan kebenaran oleh hukum Taurat; kamu hidup di luar kasih karunia." (Galatia 5:4)

Nah, karena Tuhan sendirilah yang sudah memperlawankan antara kedua hal itu (hukum Taurat dan kasih karunia) di dalam firman-Nya, pengkhotbah kasih karunia tentunya tidak dapat berbuat yang lain di dalam khotbah-khotbah mereka, selain harus berbuat hal yang sama dengan itu, yaitu: Memperlawankan hukum Taurat dan kasih karunia.

Sebab sama seperti kita tidak boleh memisahkan apa yang sudah dipersatukan oleh Tuhan, demikian jugalah kita tidak boleh mendamaikan apa yang sudah diperlawankan oleh Tuhan (mempersatukan apa yang sudah dipisahkan oleh Tuhan).

Jadi, kalau di depan nanti Anda menangkap kesan bahwa para pengkhotbah kasih karunia sangat cenderung sekali untuk memperlawankan antara hukum Taurat dan kasih karunia.... (harusnya) Anda sudah tahu sekarang, bahwa bukan kami (para pengkhotbah kasih karunia) yang membuat "perlawanan" itu. Tuhan sendirilah yang telah memulainya.

Kami hanyalah sekedar mengikuti apa yang sudah dibuat oleh Tuhan sendiri di dalam firman-Nya. Kami hanyalah para pemberita (=pembawa/penyampai beritanya), bukan pembuat beritanya.

Demikian, Harap dimaklumi. Amin.