Rabu, 31 Agustus 2016

Beberapa Catatan dari Saya untuk 1 Yohanes 1:9


Dalam usaha dari orang-orang tertentu untuk memberikan dukungan terhadap praktik dan ajaran tentang "minta ampun" kepada Tuhan, selain dengan mengacu kepada "doa Bapa kami" (Mat 6:9-14), biasanya mereka juga mengacu kepada ayat 1 Yohanes 1:9.

Untuk kasus "doa Bapa kami" saya sudah membantahnya dengan mengajukan soal perbedaan antara ajaran-ajaran Yesus atau kebenaran2 sebelum salib dan kebenaran2 setelah salib. Sebenarnya untuk kasus yang ini pun cara yang sama itu (atau yang masih terkait dengan itu) masih akan cocok juga untuk diterapkan. Tapi di sini saya merasa tidak perlu untuk langsung mengeluarkan "senjata pamungkas" itu, sebab sebenarnya hanya dengan memperhatikan teksnya secara biasa saja pun, sudah bisa diberikan bantahan yang cukup memadai untuk itu. Karena itu di sini saya hanya akan membagikan beberapa catatan saja dari saya untuk meng-clear-kan permasalahannya.

Inilah beberapa catatan dari saya:


1. "Mengaku dosa" tidak sama dengan "minta ampun"

"Mengaku dosa" hanyalah dengan jujur menerima keadaan kita sebagai manusia yang sudah berdosa di hadapan Tuhan (atau sebagai orang yang sudah jatuh ke dalam perbuatan-perbuatan yang berdosa). Sedangkan "minta ampun" berarti kita memohonkan (kepada Tuhan) supaya kiranya Dia berkenan untuk mengampuni kita dari dosa-dosa kita (atau dari dosa tertentu yang sudah kita perbuat).

Seseorang mungkin akan berkilah begini: "Ketika seseorang itu mengakui dosanya kepada Tuhan, tentulah itu akan dilanjutkan dengan meminta pegampunan dari Tuhan atas dosanya itu."

Tapi, bagaimana pun, itu hanyalah asumsi belaka... atau hanyalah sesuatu yang kita tambahkan (dari luar) kepada ayat itu. Sebab, yang pasti, di dalam ayat itu sama sekali tidak ada membicarakan tentang meminta pengampunan kepada Tuhan.

Jadi, ayat ini hanyalah membicarakan tentang "mengaku dosa" dan tidak ada membicarakan tentang meminta pengampunan kepada Tuhan. Bahkan kalau diperiksa ke seluruh konteksnya, kita juga tidak akan menemukan adanya singgungan tentang "minta ampun" kepada Tuhan di sana. Saya tidak tahu, entah dari mana orang-orang kok ujuk-ujuk'mengaitkan ayat ini dengan praktik atau ajaran tentang "minta ampun" kepada Tuhan.


2. Konteksnya di sini adalah "persekutuan"

Jika kita membaca ayat itu di dalam konteksnya kita akan mengetahui bahwa poin besar yang sedang dibicarakan di sana adalah tentang "persekutuan" (lih: ayat 3, 6, 7). Sebuah persekutuan itu memerlukan keterbukaan satu sama lain.

"Mengaku dosa" dalam kontek "persekutuan" maknanya tidak lain hanyalah begini: Sebagai orang Kristen, harusnya kita tidak perlu untuk menututup-nutupi keadaan kita. Sebab untuk apa kita masih menutup-nutupi keadaan kita, sedangkan kita memiliki Yesus Kristus yang sudah menanggung dan menghapus seluruh dosa dan ketidakbenaran kita dengan darah-Nya yang sudah tercurah di salib? Dengan kenyataan itu sebenarnya alangkah wajarnya kalau kita (yaitu sesama orang percaya) sekarang ini hidup dalam keterbukaan, tidak menyembunyikan apapun yang menjadi keadaan kita itu.


3. Yohanes tidak pernah mengajarkan praktik "mengaku dosa" itu sebagai sebuah ritual

Seperti yang sudah kita lihat dari poin yang sebelumnya, "mengaku dosa" di sini adalah dalam konteks "persekutuan"...dan berbicara "persekutuan" itu adalah berbicara tentang kehidupan (interaksi antar pribadi). Jadi bukan sesuatu yang mekanistik atau ritualistik.


4. Mengakui dosa bukanlah sebuah syarat untuk menerima pengampunan dosa

Kesalahpahaman ini nampaknya disebabkan oleh kata "jika" yang digunakan di sini. Apa lagi kalau kita hanya terpaku pada terjemahan seperti yang dibuat oleh LAI... maka akan terlihat sebagai sesuatu yang sudah sangat jelas bahwa itu adalah sebuah syarat. (Saya lebih suka dengan versi terjemahan KJV: "If we confess our sins, he is faithful and just to forgive us our sins, and to cleanse us from all unrighteousness.")

Pertimbangkan ini: Kalau kita mengartikan kata "jika" di sini sebagai syarat, itu berarti kita juga harus mengartikan pengampunan Tuhan kepada kita adalah (hanyalah!) sebagai sebuah janji.

Apakah benar pengampunan Tuhan untuk dosa-dosa kita masih merupakan sebuah janji belaka?

Jelas, saya akan membantah hal itu. Sebab sesungguhnya, Yesus SUDAH mati disalibkan bagi kita. Dan kematian-Nya itu adalah UNTUK DOSA2 KITA (yang sudah lalu, yang sekarang, dan yang akan datang). Ini bukan lagi SEBUAH JANJI. Tapi ini adalah FAKTA YANG SUDAH TERJADI... lebih dari 2000 tahun yang lalu. Amin.

Seluruh Dosa Kita Sudah Diampuni oleh Tuhan! Kapan? (Bag. II)


Di sini saya merasa perlu untuk mengklarifikasi apa sesungguhnya yang saya katakan di dalam tulisan saya pada status saya yang kemarin. Hal ini nampaknya perlu dilakukan sebab saya menengarai ada orang-orang yang sudah menyalahartikan apa yang saya katakan di sana. Saya rasa cara yang terbaik untuk itu adalah dengan memulainya dari sini...

APA YANG TIDAK SAYA KATAKAN....

Berikut ini saya akan daftarkan beberapa hal yang nampaknya beberapa orang telah menduga (secara salah!) bahwa seolah-olah saya mengatakannya (pada tulisan di status saya yang kemarin itu), padahal saya sama sekali tidak mengatakannya (atau pun memaksudkannya!).

  1. Saya tidak mengatakan bahwa kita tidak perlu untuk menyesal atas perbuatan-perbuatan dosa yang sudah kita lakukan. Adalah wajar sekali kalau kita menyesal atas perbuatan-perbuatan dosa yang kita lakukan...dan saya akan menjadi seorang yang bodoh (atau gila?) kalau saya mengatakan kita tidak perlu untuk menyesal atas hal itu.
  2. Saya tidak mengatakan bahwa kita tidak perlu menyalahkan diri kita atas perbuatan-perbuatan dosa kita itu. Bagaimanapun perbuatan-perbuatan dosa itu adalah perbuatan-perbuatan yang tidak sepatutnya untuk kita lakukan sebagai orang-orang Kristen, jadi alangkah wajarnya kalau kita menyalahkan diri kita sendiri karena sudah melakukan hal-hal yang tidak patut untuk kita lakukan itu. Yang penting di sini (ini juga berlaku untuk poin yang pertama tadi, tentang menyesal) jangan sampai kita tenggelam atau berlarut-larut di dalamnya (baik dalam menyesalinya maupun dalam menyalahkan diri kita karenanya).


(Setidaknya 2 poin inilah yang berhasil saya daftarkan untuk sekarang ini. Tentunya ini masih perlu untuk di up-date lagi, kapan-kapan ya.... :D  Masukan-masukan dari teman-teman tentunya juga diperlukan untuk lebih memperkaya update-annya nanti!)


APA YANG SAYA KATAKAN....

Apa yang saya katakan di dalam status saya yang kemarin itu hanyalah terkait dengan satu hal saja, yaitu tentang MEMINTA AMPUN. Atau, secara lebih lengkapnya, MEMINTA AMPUN ATAS DOSA-DOSA KITA KEPADA TUHAN.

Khusus untuk hal yang satu ini sajalah saya mengatakan bahwa kita (sebagai orang-orang Kristen atau umat Perjanjian Baru) SUDAH TIDAK PERLU LAGI UNTUK MELAKUKANNYA. Jadi, harap ini tidak dibawa atau dilebarkan ke mana-mana atau ke soal-soal yang lainnya.

Perhatikan jugalah bahwa saya menggunakan frasa "tidak perlu" di sana... dan itu tentulah tidak berarti atau tidak sama dengan "tidak boleh" (saya sengaja tidak memasukkan poin yang satu ini ke dalam daftar "apa yang tidak saya katakan" tadi, karena saya merasa akan mengganggu nanti terhadap jalan uraiannya, kalau saya memasukkannya di sana).

Jadi, kalau ada orang-orang yang masih merasa belum bisa kalau hanya dengan mempercayai saja bahwa kita SUDAH diampuni oleh Tuhan (khususnya dalam kasus-kasus atau dosa-dosa yang tertentu), dan merasa dia perlu untuk meminta ampunan atas dosa-dosanya (yang khusus) itu, silahkan saja dia melakukan hal itu. Tapi, sebaiknya hal itu tidak menjadi sebuah kebiasaan, yang akan terus menerus diulangi untuk kasus-kasus yang lainnya. Kita bisa memahami kalau orang yang sedang berada dalam kondisi yang lemah membutuhkan "tongkat" atau pertolongan yang khusus. Tapi "tongkat" itu haruslah dilihat hanya untuk sementara saja, bukan untuk digunakan selamanya. Demikianlah kita berharap kepada orang-orang yang untuk kasus-kasus tertentu masih merasa perlu untuk meminta ampun atas dosa-dosanya kepada Tuhan, semakin hari mereka akan semakin merasa kurang membutuhkannya untuk kasus-kasus yang selanjutnya.

Demikian sajalah untuk saat ini... saya harap klarifikasi ini bisa membuat menjadi lebih jelas/jernih permasalahannya dan menghindarkan kita dari kesalahpahaman (atau pun penyelewengan artinya, oleh orang-orang tertentu untuk tujuan-tujuan atau kepentingan mereka sendiri). Grace to u all.

Seluruh Dosa Kita Sudah Diampuni oleh Tuhan! Kapan?


Tahukah Anda, kapan tepatnya Tuhan mengampuni (dan menghapuskan!) seluruh dosa kita (dosa-dosa masa lalu, masa kini, dan masa depan kita)?

Itu terjadi lebih dari 2000 tahun yang lalu, yaitu ketika Yesus mati disalibkan bagi kita (Lih: Ibrani 9:22-28).

Tapi tahukah Anda, kapan pengampunan (dan penghapusan) dosa itu menjadi efektif bagi masing-masing kita secara pribadi?

Itu terjadi pada saat kita (masing-masing) percaya (atau menjadi orang percaya di dalam Kristus).
"Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya" (Yoh 1:12)
"Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal." (Yoh 3:16)
"Sebab di dalam Dia dan oleh darah-Nya kita beroleh penebusan, yaitu pengampunan dosa, menurut kekayaan kasih karunia-Nya" (Ef 1:7)

Jadi, sejak Anda menjadi orang percaya di dalam Kristus, pengampunan yang sudah diberikan oleh Tuhan melalui pengorbanan Yesus di salib itu sudah efektif menjadi milik Anda. Dosa-dosa Anda, yang mana pun itu dan yang kapan pun itu, semuanya SUDAH diampuni oleh Tuhan.

Kalau begitu, masih perlukah kita meminta ampun lagi atas dosa-dosa yang masih terjadi di masa kekinian kita?

Seharusnya sudah sangat jelas, bahwa hal itu sudah tidak diperlukan lagi! Sebab untuk apakah kita masih meminta suatu hal lagi kepada Tuhan, padahal hal tersebut sudah diberikan oleh-Nya kepada kita?? Atau tidak percayakah Anda bahwa pengampunan Tuhan kepada kita--melalui Korban Yesus di salib--sudah termasuk juga di dalamnya dosa-dosa masa kini kita? (Lalu, apakah Anda mempercayai ada jalan lain, selain Korban Yesus di salib, untuk pengampunan atas dosa-dosa kekinian anda?).

Kebanyakan orang Kristen yang masih mempraktikkan (dan mengajarkan) untuk meminta ampun atas dosa kita (khususnya dosa-dosa kekinian kita) mendasarkannya pada pengajaran Yesus dalam "doa Bapa kami" (Mat 6:9-13). Dan, sebagaimana yang sudah saya tunjukkan di dalam tulisan saya yang sebelumnya ("Sebuah Contoh Konkret Tentang Perbedaan antara Ajaran Paulus dan Ajaran Yesus"), sesungguhnya sekarang ini kita sudah tidak boleh lagi mendasarkan praktik-praktik dan ajaran-ajaran kita pada apa yang diajarkan oleh Yesus pada masa itu, sebab ketika itu Dia menujukan ajaran-ajaran-Nya bukan kepada kita (umat Perjanjian Baru), melainkan kepada orang2 Yahudi (umat Perjanjian Lama). Amin.

Minggu, 21 Agustus 2016

Sebuah Contoh Konkret Tentang Perbedaan antara Ajaran Paulus dan Ajaran Yesus

(Dan Solusi untuk Penjelasannya)


Saya perhatikan masih banyak di antara kita yang merasa berada dalam sebuah dilema, ketika berhadapan dengan pertanyaan: Benarkah ajaran2 Paulus berbeda dengan ajaran2 Yesus?

Soalnya, kita mungkin berpikir, kalau kita meng-iya-kan pertanyaan itu, gimana ya...?? Rasanya kok, gak nyaman banget bagi kita untuk mengatakan Paulus dan Yesus memang berbeda dalam ajaran2 mereka!

Tapi, kalau kita menyangkalinya atau menjawab "tidak" untuk pertanyaan itu, kita sendiri tidak yakin akan hal itu... sebab kita pun sering kali bertemu dengan ayat2 Alkitab yang menunjukkan adanya perbedaan itu.

Jadi, apakah solusinya untuk kita?

Di dalam komentar2 yang saya berikan kepada teman2 yang berespon pada tulisan saya di status saya yang kemarin (di FB Bro Julius), sebenarnya saya sudah memberikan jawaban/penjelasan mengenai hal itu. Tapi saya berpikir, mungkin tidak semua teman yang mengikuti penjelasan2 yang saya berikan pada kotak komentar itu, maka saya pun memutuskan untuk membuat sebuah tulisan/postingan khusus tentang hal itu (dan beginilah hasilnya. :) ).

Di dalam bagian Alkitab yang sudah sangat dikenal dengan sebutan "doa Bapa kami" (Matius 6:9-13, dan terutama di dalam penjelasan yang diberikan oleh Yesus sendiri di bawahnya: ay. 14-15) kita menemukan Yesus mengajar kepada orang2 bahwa pengampunan yang mereka terima dari Allah Bapa bergantung pada pengampunan yang mereka berikan kepada orang2 lain (yang bersalah kepada mereka).
"Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu." (Mat 6:14-15)

Jadi, pengampunan dari Bapa itu ada syaratnya, dan syaratnya itu adalah kita harus terlebih dulu mengampuni orang yang bersalah kepada kita. Itulah yang diajarkan oleh Yesus tentang pengampunan.

Bagaimanakah dengan Paulus dan ajarannya tentang pengampunan? Samakah dengan apa yang sudah diajarkan oleh Yesus itu?

Untuk menjawabnya, marilah kita memeriksa ke sebuah surat yang dituliskan oleh Paulus kepada salah satu jemaat yang dilayaninya, yaitu Efesus. Berikut ini adalah petikannya...
"Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu." (Ef 4:32)

Nampak jelas perbedaannya, kan?

Kalau di dalam pengajaran Yesus (sebagaimana yang sudah kita lihat tadi), pengampunan yang kita berikan kepada orang yang bersalah kepada kita ditaruh di depan, sehingga menjadi persyaratan untuk pengampunan yang akan kita terima dari Tuhan. Tapi, di sini Paulus menaruhnya (pengampunan yang kita berikan kepada orang yang bersalah kepada kita itu) di belakang, sehingga bukan lagi merupakan sebuah syarat untuk kita menerima pengampunan dari Tuhan, tapi hanyalah sebagai pendorong bagi kita untuk mengampuni orang yang bersalah kepada kita.

Pertanyaannya sekarang ini bukan lagi tentang benar atau tidaknya ajaran2 Paulus berbeda/bertentangan dengan ajaran2 Yesus. Sebab hal itu sudah menjadi jelas bagi kita sekarang ini (setidaknya dari pemeriksaan yang sudah kita lakukan di atas), yaitu memang benar ajaran mereka (Yesus dan Paulus) berbeda (atau bahkan bertentangan!). Tapi, pertanyaanya sekarang ini adalah: Bagaimana kita menjelaskan hal itu (perbedaan/pertentangan yang ada pada ajaran2 dari Yesus dan Paulus)?

Buat saya, tidak ada penjelasan yang lebih memuaskan dari pada yang satu ini, yaitu bahwa Yesus dan Paulus telah menyampaikan ajaran2 mereka kepada dua umat yang berbeda, atau dua umat yang berada di bawah Perjanjian (Covenant) yang berbeda. Yesus mengajar kepada umat Yahudi (yang masih berada di bawah Perjanjian Lama). Sedangkan Paulus mengajar kepada umat Kristen (yang sudah berada di bawah Perjanjian Baru).

Buat teman2 yang mau tahu lebih banyak lagi tentang (perbedaan) Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru ini, saya sangat menganjurkan untuk membaca (dengan baik2) tulisan terilham di dalam Ibrani dari pasal 7 sampai pasal 10.

Berikut ini hanyalah contoh ayat2 yang saya anggap perlu untuk digarisbawahi dari pasal2 tersebut.

Ibrani 7:11-12:
11-Karena itu, andaikata oleh imamat Lewi telah tercapai kesempurnaan--sebab karena imamat itu umat Israel telah menerima Taurat--apakah sebabnya masih perlu seorang lain ditetapkan menjadi imam besar menurut peraturan Melkisedek dan yang tentang dia tidak dikatakan menurut peraturan Harun?
12-Sebab, jikalau imamat berubah, dengan sendirinya akan berubah pula hukum Taurat itu. 

Ibrani 7:18-19:
18-Memang suatu hukum yang dikeluarkan dahulu dibatalkan, kalau hukum itu tidak mempunyai kekuatan dan karena itu tidak berguna, 
19---sebab hukum Taurat sama sekali tidak membawa kesempurnaan--tetapi sekarang ditimbulkan pengharapan yang lebih baik, yang mendekatkan kita kepada Allah.

Ibrani 8:8-13:
8-Sebab Ia menegor mereka ketika Ia berkata: "Sesungguhnya, akan datang waktunya," demikianlah firman Tuhan, "Aku akan mengadakan perjanjian baru dengan kaum Israel dan dengan kaum Yehuda,
9-bukan seperti perjanjian yang telah Kuadakan dengan nenek moyang mereka, pada waktu Aku memegang tangan mereka untuk membawa mereka keluar dari tanah Mesir. Sebab mereka tidak setia kepada perjanjian-Ku, dan Aku menolak mereka," demikian firman Tuhan.
10-"Maka inilah perjanjian yang Kuadakan dengan kaum Israel sesudah waktu itu," demikianlah firman Tuhan. "Aku akan menaruh hukum-Ku dalam akal budi mereka dan menuliskannya dalam hati mereka, maka Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku.
11-Dan mereka tidak akan mengajar lagi sesama warganya, atau sesama saudaranya dengan mengatakan: Kenallah Tuhan! Sebab mereka semua, besar kecil, akan mengenal Aku.
12-Sebab Aku akan menaruh belas kasihan terhadap kesalahan mereka dan tidak lagi mengingat dosa-dosa mereka. 
13-Oleh karena Ia berkata-kata tentang perjanjian yang baru, Ia menyatakan yang pertama sebagai perjanjian yang telah menjadi tua. Dan apa yang telah menjadi tua dan usang, telah dekat kepada kemusnahannya." (Ibr 8:8-13).

"Injil Paulus": Mengindikasikan adanya Dua Injil untuk Dua Umat yang Berbeda

Paulus menyebut Injil yang diberitakannya sebagai "Injilku" (lih: 2 Tim 2:8).

Pantaskah dia membuat sebutan yang seperti itu untuk Injil? Tidakkah itu menunjukkan kepongahan atau arogansi pada diri Paulus?

Harus ada alasan yang cukup kuat untuk itu, barulah apa yang dilakukannya itu bisa dibenarkan. Tapi kalau tidak, yaitu kalau alasan yang cukup kuat itu tidak ada, maka harus dikatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Paulus itu adalah sangat tidak patut. Saya sendiri pun akan menyebut Paulus orang yang sangat sombong, kalau memang tidak ada alasan yang cukup kuat untuk apa yang dia lakukan itu (=menyebut Injil sebagai Injilnya).

Tapi ketika saya memeriksa mengenai hal ini, puji Tuhan, saya temukan bahwa ternyata alasan untuk itu memang ada (yaitu alasan yang cukup kuat bagi Paulus sehingga dia bisa dibenarkan dalam menggunakan sebutan tersebut, "Injilku"). Dan alasan tersebut sangat terkait dengan panggilannya yang khusus, yaitu sebagai rasul (khusus) untuk bangsa2 bukan Yahudi atau bangsa2 di luar Israel. Hal itu membuat saya sadar bahwa Paulus memang pantas menyebut Injil dengan cara yang demikian itu, dan hanya dia seoranglah yang pantas untuk itu. Tidak ada seorang pun lagi yang lainnya yang pantas untuk melakukan hal yang seperti yang dia lakukan itu (menyebut Inji sebagai Injilnya), sebab memang hanya Paulus seoranglah yang telah pernah menerima panggilan yang se-khusus itu (dalam kaitan dengan tugas pemberitaan Injil).

Sebutan yang digunakan oleh Paulus untuk Injil yang dia terima dan beritakan itu sekaligus juga mengindikasikan kepada kita bahwa kepada Paulus telah dipercayakan Injil yang khusus, yang tidak sama dengan Injil yang diterima dan diberitakan oleh para rasul dan pemberita2 Injil lainnya. Sungguh dengan ini saya jadi semakin melihat bahwa memang dalam kenyataannya ada dua Injil atau dua macam Injil di Alkitab kita, yaitu:

1) Injil Kerajaaan Allah, dan...
2) Injil Kasih karunia Allah.

Yang pertama itu adalah apa yang diberitakan oleh Yohanes Pembaptis, oleh Yesus (pada masa pelayanan-Nya di bumi), dan oleh ke-12 rasul-Nya (dan pemberitaan mereka ini ditujukan HANYA kepada orang2 Yahudi/Israel). Sedangkan yang kedua itu adalah yang khusus merupakan Injil yang diterima dan diberitakan oleh Paulus (dan harusnya juga menjadi satu2nya Injil yang diterima dan diberitakan oleh gereja2 Kristen, yang terdiri dari orang2 yang berasal dari bangsa2 non-Yahudi/Israel!).

Kekhususan Injil Paulus itu dan bahwa Injilnya itu adalah secara khusus merupakan kabar baik tentang kasih karunia Allah (Injil kasih karunia Allah) bisa kita lihat juga dari pernyataan2 Paulus sendiri, yang secara satu perikop bisa kita baca di Efesus 3:1-12. Di sana Paulus menyebutkan setidaknya 2 hal yang pokok ini:

  1. Bahwa Injilnya itu adalah sesuatu yang sebelumnya masih dirahasiakan (oleh Tuhan) selama berabad-abad, dan baru kemudian dibukakan/dinyatakan (secara khusus dan secara pribadi) kepadanya.
  2. Bahwa tugas pemberitaan Injilnya itu tidak lain adalah "tugas penyelenggaraan kasih karunia Allah."

Silahkan Anda baca dan periksa sendiri juga, ya....

1-Itulah sebabnya aku ini, Paulus, orang yang dipenjarakan karena Kristus Yesus untuk kamu orang-orang yang tidak mengenal Allah 
2---memang kamu telah mendengar tentang tugas penyelenggaraan kasih karunia Allah, yang dipercayakan kepadaku karena kamu,
3-yaitu bagaimana rahasianya dinyatakan kepadaku dengan wahyu, seperti yang telah kutulis di atas dengan singkat.
4-Apabila kamu membacanya, kamu dapat mengetahui dari padanya pengertianku akan rahasiaKristus,
5-yang pada zaman angkatan-angkatan dahulu tidak diberitakan kepada anak-anak manusia,tetapi yang sekarang dinyatakan di dalam Roh kepada rasul-rasul dan nabi-nabi-Nya yang kudus,
6-yaitu bahwa orang-orang bukan Yahudi, karena Berita Injil, turut menjadi ahli-ahli waris dan anggota-anggota tubuh dan peserta dalam janji yang diberikan dalam Kristus Yesus.
7-Dari Injil itu aku telah menjadi pelayannya menurut pemberian kasih karunia Allah, yang dianugerahkan kepadaku sesuai dengan pengerjaan kuasa-Nya.
8-Kepadaku, yang paling hina di antara segala orang kudus, telah dianugerahkan kasih karunia ini, untuk memberitakan kepada orang-orang bukan Yahudi kekayaan Kristus, yang tidak terduga itu,
9-dan untuk menyatakan apa isinya tugas penyelenggaraan rahasia yang telah berabad-abad tersembunyi dalam Allah, yang menciptakan segala sesuatu,
10-supaya sekarang oleh jemaat diberitahukan pelbagai ragam hikmat Allah kepadapemerintah-pemerintah dan penguasa-penguasa di sorga,
11-sesuai dengan maksud abadi, yang telah dilaksanakan-Nya dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.
12-Di dalam Dia kita beroleh keberanian dan jalan masuk kepada Allah dengan penuh kepercayaan oleh iman kita kepada-Nya. (Ef 3:1-12).

Jadi, Injil Paulus adalah suatu berita yang sangat berbeda, karena isinya adalah terfokuskan kepada apa yang sudah dilakukan oleh Allah di dalam atau melalui Kristus bagi kita... bukan lagi berisikan hal2 yang harus atau yang perlu untuk kita lakukan bagi Tuhan (agar kita bisa selamat atau berkenan kepada-Nya).

Karena itu, marilah bersukacita bersama saya, menyambut "Injil Paulus" dan merayakannya, dan memberitakannya....agar sebanyak mungkin orang bisa turut bersukacita juga bersama kita karena telah menerima/percaya akan berita yang sangat menggembirakan ini, yaitu INJIL KASIH KARUNIA ALLAH. Haleluya! Amin.

Senin, 08 Agustus 2016

Dorongan untuk Lebih Mengacu kepada Ajaran-ajaran Yesus Ketimbang Ajaran-ajaran Paulus adalah sebuah Pembodohan!


Ada beberapa kalangan (di lingkungan keagamaan) sekarang ini yang nampaknya sedang menggalang suatu gerakan, yang tujuannya terfokuskan kepada satu nama (untuk diserang atau dijelek-jelekkan), yaitu: Paulus. Saya akan menyebut gerakan itu sebagai "gerakan pembusukan nama Paulus."

Salah satu yang ingin dicapai oleh gerakan itu adalah supaya kita (orang-orang Kristen) lebih mengacu kepada ajaran-ajaran Yesus (yang dicatat dalam ke-empat kitab Injil di Alkitab) ketimbang kepada ajaran-ajaran Paulus (yang terdapat di dalam surat-suratnya, yang tercantum di Alkitab kita). Orang-orang di dalam gerakan ini didorong oleh atau bergerak berdasarkan asumsi (dan/atau jalan pikiran) yang keliru, yang isinya kira-kira begini:

Yesus tentunya jauh lebih tinggi/mulia (dalam segalanya) ketimbang Paulus. Jadi, ketika Paulus mengajarkan hal yang berbeda dari apa yang diajarkan oleh Yesus, maka sudah sepatutnya kita lebih menerima apa yang diajarkan oleh Yesus ketimbang apa yang diajarkan oleh Paulus.

Sepintas kedengarannya apa yang mereka asumsikan itu sudah benar dan tidak mungkin untuk dibantah lagi. Tapi itu hanyalah hasil penangkapan yang sepintas saja. Sebab, seperti yang saya katakan di atas, itu adalah "asumsi yang keliru" dari mereka.

Mengapa saya menyebutnya sebagai "asumsi yang keliru"? Saya menyebutnya begitu karena yang sesungguhnya adalah....

  • Paulus adalah seorang rasul Yesus....seorang rasul yang khusus (kepada bangsa-bangsa di luar Israel) dan dengan tugas yang khusus pula (memberitakan Injil kasih karunia). Yesuslah yang memanggilnya dan memberikan tugas yang khusus itu kepadanya. Jadi, saat membagikan pengajaran-pengajarannya, Paulus hanyalah seorang yang menjalankan tugas sebagaimana yang diamanatkan (oleh Yesus) kepadanya. Karena itu mempertentangkan Paulus dengan Yesus adalah sesuatu yang terlalu dibuat-buat atau hanyalah permasalahan yang dicari-cari belaka... atau hanyalah karena ketidaktahuan semata (tentang adanya semacam "pembagian tugas" yang diemban oleh masing-masing dari kedua tokoh tersebut pada masa dan konteks, di mana mereka masing-masing menjalankan tugasnya).
  • Paulus adalah seorang rasul yang setia dan tidak ada catatan yang buruk/negatif tentangnya di dalam Akitab--sejauh yang menyangkut pelaksanaannya atas tugas/amanat yang diembannya dari Yesus. Kecuali di Alkitab ada catatan yang buruk tentang Paulus, terkait dengan ajaran-ajarannya, kita boleh mencurigainya dan ajaran-ajarannya itu. Tapi karena catatan buruk yang demikian itu sama sekali tidak terdapat di Alkitab, maka sudah semestinya setiap kecurigaan yang tertuju kepada ajaran-ajaran Paulus harus kita lihat sebagai racun yang ditebarkan oleh pihak lawan di antara kita. Ketimbang merangkul kecurigaan yang tidak pada tempatnya itu, seharusnya kita, dengan agresif, memeranginya dari antara kita.
(Catatan: Perkataan Petrus di 2 Petrus 3:15-16 memang sedikit berbau "tendensius" dari pihak Petrus, sebagai wakil rasul-rasul yang bertugas di antara orang-orang Israel. Tapi walau bagaimanapun itu bukanlah sebuah catatan yang buruk tentang Paulus dan ajaran-ajarannya. Itu hanyalah patut kita lihat sebagai sebuah konfirmasi saja untuk kita sekarang ini, yaitu bahwa dari sejak awalnya sudah ada resistensi terhadap Paulus dan ajaran-ajarannya di lingkungan jemaat yang berlatarbelakang agama Yahudi. Motifnya bisa jadi kedengkian, tapi kebanyakannya adalah karena kesalahpahaman mereka belaka terhadap Paulus dan misi khusus yang diembannya).
  • Yesus dan Paulus berbicara kepada umat yang berbeda (dan yang sudah berada di bawah Perjanjian yang berbeda pula!). Sementara Yesus berbicara kepada umat yang masih berada di bawah Perjanjian Lama, Paulus berbicara kepada umat yang sudah berada di bawah Perjanjian Baru. Jadi, tentulah tidak mengherankan kalau keduanya mengatakan/mengajarkan hal-hal yang berbeda (bahkan cenderung berlawanan!), karena memang mereka tidak sedang berbicara kepada umat yang sama, melainkan kepada umat yang berbeda (Yesus kepada umat Yahudi; Paulus kepada umat Kristen).

Perjanjian (Covenant) yang berbeda pastilah menyertakan syarat-syarat yang berbeda pula (yang diberlakukan kepada masing-masing pihak yang terlibat di dalam Perjanjian tersebut). Alangkah menjadi sebuah kebodohan jika kita mencomot sebuah syarat yang berlaku di bawah Perjanjian yang satu lalu memaksakan pemberlakuannya di bawah Perjanjian yang lain. Begitulah bodohnya orang-orang Kristen (yang sekalipun berhati tulus!) mencoba untuk memberlakukan syarat-syarat dari Perjanjian Lama kepada kita yang sekarang ini sudah berada di bawah Perjanjian Baru, yang hampir dalam keseluruhannya sudah sangat jauh berbeda dengan Perjanjian yang sebelumnya itu, Perjanjian Lama.

Kebodohan yang sama itulah yang sedang dilakukan (dan dipromosikan!) oleh orang-orang yang mengatakan ajaran-ajaran Paulus patut untuk kita curigai, dan sejauh ajaran-ajarannya itu berlawanan dengan ajaran-ajaran Yesus (di kitab-kitab Injil), kita patut untuk menolaknya (atau cukup mengabaikannya saja!), dan lebih menerima ajaran-ajaran Yesus itu saja bagi kita. Saya harap Anda sudah tidak lagi menjadi korban dari pembodohan yang seperti ini. Amin.

Jumat, 05 Agustus 2016

Siapakah Tokoh di Alkitab yang Paling Berpengaruh bagi Anda?


Jika kepada orang2 Kristen sekarang ini (termasuk para pendeta/pengkhotbah) ditanyakan: tokoh mana di dalam Alkitab yang paling berpengaruh bagi mereka (selain Yesus)? Maka kita akan mendapati kebanyakan jawaban yang diberikan akan berada di sekitaran tokoh2 ini: Abraham, Musa, Yosua, Elia, Daud, dan Daniel. Sedikit sekali yang akan mengajukan dari kalangan murid Yesus yang dua belas itu. Dan, jauh lebih sedikit lagi yang akan menjawab: Paulus.

Menurut saya, itu adalah bencana! Ya, bencana dalam Kekristenan. Dan itu sekaligus juga adalah merupakan bukti dari kegagalan mayoritas pengajaran yang diberikan di lingkungan Kekristenan selama ini. Itu juga berarti mayoritas pengajar di lingkungan Kristen (sarjana2 teologi, pendeta2, dan pengkhotbah2) telah menjadi ngawur di dalam pengetahuan yang mereka miliki dan yang mereka ajarkan kepada umat selama ini.

Sebab, bagaimana mungkin kita--sebagai orang2 Kristen, umat Perjanjian Baru--justu menjadi lebih dekat atau lebih banyak dipengaruhi oleh tokoh2 dari luar Kekristenan, ketimbang tokoh2 yang berasal dari dalam Kekristenan sendiri...???

Sebenarnya, siapakah tokoh yang paling dekat dengan kita, yaitu khususnya kita orang2 Kristen yang berasal dari bangsa2 kafir (di luar Israel)? Paulus, kan?

Ya! Paulus. Sebab, dialah sang rasul khusus untuk kita (bangsa2 non-Israel/Yahudi).

Bukankah hal itu seharusnya sudah sangat jelas bagi kita semua? Bukankah pengetahuan tentang hal itu (seharusnya) sudah didapakan bahkan oleh "anak2 sekolah minggu" kita?

Tapi, kenapa kita sekarang ini nampaknya sudah begitu jauh dari kebenaran dasar itu? Kenapa Paulus tidak menjadi tokoh yang paling banyak dipilih atau dijadikan sebagai tokoh yang paling berpengaruh bagi kita?

Saya curiganya, begini: Jangan2 karena hal itu hanya dilihat sebagai sebuah (pengetahuan) dasar bagi kita, maka untuk selanjutnya hal itu sudah tertinggalkan di bawah atau di belakang kita... dan segera hal2 yang lainnya pun tertumpukkan di atasnya. Dan akhirnya kita pun menjadi lupa dengannya (dasar kita itu). Lalu, ketika ada pengajaran2 tertentu yang kedengarannya sangat bagus dan terkesan "lebih tinggi" atau "lebih mendalam" atau "lebih rohani", kita pun langsung menerimanya, tanpa memeriksa atau membandingkannya lagi dengan dasar yang sudah kita miliki sebelumnya. Maka akhirnya kita pun memiliki Kekristenan seperti yang ada sekarang ini: "Kekristenan campuran" atau "Kekristenan gado-gado."

Disebut "Kekristenan campuran" karena walaupun di awalnya masih menerima Yesus sebagai Mesias/Kristus/Juruselamat, tapi untuk selanjutnya masih berkiblat kepada dan mengadopsi spiritualitas Perjanjian Lama atau Yudaisme (seolah-olah kita tidak punya spiritualitas yang otentik, yaitu yang murni Kristen--spiritualitas Perjanjian Baru!).

Jadi, kalau Anda adalah orang Kristen, banggalah dengan Kekristenan itu! Kenalilah Kekristenan itu, berikut dengan spiritualitasnya yang otentik. Dan hal itu, tidak bisa tidak, akan membuat Anda menjadi merasa sangat dekat, sangat terhubungkan, dan sangat dipengaruhi oleh seorang tokoh di Alkitab: Paulus.

Selain Yesus, Pauluslah tokoh Kristen yang paling berpengaruh (untuk semua orang yang berasal dari bangsa2 non-Israel). Ketahuilah itu. Hiduplah sesuai dengan kebenaran itu. Amin.

Senin, 01 Agustus 2016

Percayalah, di Mata Tuhan Anda Sudah Selalu Benar, dan Dia Tidak Sedang Menghukum Anda!


Kita diberkati karena kita adalah orang benar (dibenarkan). Kristus telah membebaskan kita dari kutuk hukum Taurat dengan menjadi kutuk bagi kita, sehingga kita dapat mengalami berkat Abraham (Lihat Galatia 3:9-14). Jika kita tidak mengerti ini, setiap kali sesuatu berjalan salah dalam hidup kita, kita akan berpikir bahwa Allah sedang membalas beberapa dosa pribadi dan bahkan dosa keturunan. Banyak orang Kristen hidup seperti ini.


Berkat Abraham

Marilah kita melihat sebuah contoh tentang berkat kebenaran dalam kehidupan Abraham. Ketika ia pergi ke Mesir, ia takut pada orang Mesir. Isterinya cantik dan ia takut orang-orang Mesir akan membunuh dia sehingga mereka dapat memiliki Sara. Jadi ia berkata kepada Sara, “Katakan kau adalah saudaraku.”

Mereka melanjutkan rencana ini sampai pada titik Firaun membawa Sara ke dalam istananya. Ia hampir akan tidur dengan Sara sampai Allah menulahi dia dan rumahnya dengan “tulah-tulah besar.”

Ketika penyebab mengapa tulah ini terjadi tersingkap, Firaun menyalahkan Abraham karena bersikap seperti ini. Ia kemudian mengembalikan Sara kepada Abraham dan memberinya banyak domba, kambing, budak, perak, emas, dll.

• Pertanyaan: Siapa yang berdosa?
• Jawaban: Abraham.
• Pertanyaan: Siapa yang terkena tulah?
• Jawaban: Firaun.
• Pertanyaan: Siapa yang diberkati?
• Jawaban: Abraham.


Tidak Adil!

Pada titik ini saya hampir dapat mendengar seruan, “Tidak adil!”  Mungkin Anda bahkan berpikir saya telah salah membaca Alkitab. Tidak, saya tidak salah. Bahkan sebuah situasi yang hampir sama terjadi beberapa waktu kemudian ketika Abraham pergi ke Tanah Gerar. Raja Gerar, Abimelekh, juga dibuat percaya bahwa Sara adalah saudara Abraham. Jadi Abimelekh mengambil Sara dengan maksud memperisterinya.

Tapi Allah datang kepadanya dalam mimpi dan berkata, “Jika kau menyentuh wanita ini kau akan mati! Ia sudah menikah. Sekarang kembalikan dia kepada suaminya, kalau tidak kau akan mati!” Abimelekh bangun pagi-pagi keesokan harinya dan mengembalikan Sara kepada Abraham dan memberinya banyak domba, kambing, budak-budak, dan juga perak.

• Pertanyaan: Siapa yang berdosa?
• Jawaban: Abraham.
• Pertanyaan: Siapa yang dihardik Allah?
• Jawaban: Abimelekh.
• Pertanyaan: Siapa yang diberkati?
• Jawaban: Abraham.

Tampaknya dari perikop ini bahwa Abraham tidak melakukan ini hanya sekali atau dua kali; itu adalah kelakuannya kemanapun ia pergi (lihat Kejadian 20:13). Jadi bagaimana bisa Allah, yang mengutuk umat manusia karena dosa, tidak menghukum Abraham karena dosanya? Bahkan, Ia memberkati dia sementara ia berbuat dosa! Alasannya adalah meskipun Abraham berdosa, tapi ia benar selamanya.

Allah tidak memperhitungkan dosa kepada orang benar. Dalam Roma 4, ketika Paulus membahas kebenaran kita di dalam Kristus, ia mengutip Daud yang berkata, “Berbahagialah orang yang diampuni pelanggaran-pelanggarannya, dan yang ditutupi dosa-dosanya berbahagialah manusia yang kesalahannya tidak diperhitungkan Tuhan kepadanya” (Roma 4:7-8). Di bawah Perjanjian Baru, Allah berjanji: “Sebab Aku akan menaruh belas kasihan terhadap kesalahan mereka dan tidak lagi mengingat dosa-dosa mereka” (Ibrani 8:12).

Ada konsekuensi atas perbuatan salah. Jika kita menabur dalam daging, dari daging kita akan menuai kebinasaan—bukan dari Allah (lihat Galatia 6:8). Allah tidak memperhitungkan dosa-dosa kita kepada kita karena mereka telah diperhitungkan kepada Kristus. Sebagai gantinya, kebenaran Kristus selalu diberikan kepada kita. Itulah sebabnya tidak ada penghukuman bagi mereka yang ada di dalam Kristus—tidak sekarang, tidak akan pernah selamanya. Kita diberkati karena Yesus!

Itulah kabar baik dari injil kasih karunia: “Sebab Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya oleh Kristus dengan tidak memperhitungkan pelanggaran mereka” (2 Korintus 5:19—penekanan ditambahkan). Dan jika Anda ada di dalam Kristus, Allah tidak akan pernah memperhitungkan dosa-dosa Anda kepada Anda.

------------------------------------------------------------------------
Sumber: Ken Legg ("Grace Roots", LIGHT PUBLISHING)

Sudahkah Anda Tunduk pada Kebenaran Allah?


Paulus menggambarkan tentang orang-orang Yahudi bahwa “mereka sungguh-sungguh giat untuk Allah, tetapi tanpa pengertian yang benar” (Roma 10:2). Seperti banyak orang-orang agamawi, mereka tulus tapi benar-benar tulus yang salah. Paulus kemudian melanjutkan untuk mengidentifikasi area utama di mana semangat mereka yang salah itu terlihat jelas. Ia berkata, “Sebab, oleh karena mereka tidak mengenal kebenaran Allah dan oleh karena mereka berusaha untuk mendirikan kebenaran mereka sendiri, maka mereka tidak takluk kepada kebenaran Allah” (Roma 10:3).

Orang-orang kafir diciri-cirikan dengan ketidakbenaran, tapi orang-orang Yahudi diciri-cirikan dengan kebenaran diri sendiri. Orang-orang kafir makan dari sisi ‘jahat’ Pohon pengetahuan yang baik dan jahat, dan orang-orang Yahudi makan dari sisi ‘baik’ pohon yang sama. Setan tidak keberatan dari sisi mana Anda makan selama Anda makan dari pohon itu. Allah ingin kita mengambil bagian dari Pohon Kehidupan, yaitu Anak-Nya Yesus Kristus, karena Ia telah diberikan kepada kita sebagai kebenaran kita.

Sayangnya, upaya-upaya manusia untuk membangun kebenaran mereka sendiri tidak terbatas pada orang Yahudi. Itu adalah intisari dan dan hakekat dari semua agama. Itulah sebabnya pesan dari injil kasih karunia sangat unik dan sangat indah. Kebenaran tidak akan pernah diperoleh dengan usaha-usaha kita sendiri. Upaya terbaik kita tidak akan pernah cukup baik. Kita akan selalu jauh dari kemuliaan Allah. Tapi Allah telah memberi kita kebenaran-Nya secara cuma-cuma di dalam Yesus.

Anak Domba Allah adalah kebenaran Allah

Ketika seorang Yahudi membawa seekor anak domba kepada seorang imam untuk dipersembahkan bagi dosa-dosanya, pada saat imam itu mengambil anak domba itu, orang Israel tersebut tidak lagi di bawah penyelidikan. Dari sejak saat itu, fokusnya berubah kepada anak domba itu, dan satu-satunya hal yang harus diperhatikan adalah apakah domba itu bercacat cela atau tidak.

Yesus adalah Anak domba Allah yang tak bercacat cela. Di sepanjang seluruh kehidupan-Nya di bumi, ia tidak melakukan dosa. Ia tidak mengenal dosa dan di dalam Dia tidak ada dosa. Ia memenuhi kebenaran dengan ketaatan-Nya yang sempurna kepada Allah. Ia taat sampai mati, bahkan mati di kayu salib di mana dosa kita menerima penghakimannya yang benar sekali untuk selamanya. Ini adalah kebenaran Allah.

Semua yang pernah dituntut kebenaran Allah dari seorang manusia sepenuhnya digenapi oleh Yesus yang mewakili kita. Ia adalah Pribadi yang dengannya Allah berkenan, dan kita sempurna di dalam Dia! Di kayu salib, Allah membuat Yesus, yang tidak mengenal dosa, menjadi dosa bagi kita. Dan sebagai gantinya, kebenaran-Nya diberikan kepada kita. Ia sekarang adalah kebenaran kita (1 Korintus 1:30). Itu adalah nama-Nya, Yehovah Tsidkenu, Tuhan kebenaran kita (lihat Yeremia 23:6 KJV).

Oleh Ketaatan Siapa Anda Dibenarkan?

Dosa kita yang manakah yang dilakukan Yesus untuk membuat-Nya berdosa? Tak satupun; dosa-dosa kita ditimpakan kepada Dia. Perbuatan benar-Nya yang manakah yang bisa kita lakukan untuk menjadi benar? Tak satupun; kebenaran-Nya diberikan kepada kita, atau ditaruh dalam rekening kita. Atas dasar pertukaran maha besar itu, Allah telah membenarkan kita, yaitu menyatakan kita menjadi benar. Ini adalah ‘pernyataan abadi’-Nya berkenaan dengan kita. Di samping itu, Ia akan selalu memperlakukan kita sebagai orang benar, karena itulah jati diri kita sekarang.

Orang-orang Yahudi, seperti banyak orang-orang agamawi, membuat kesalahan dengan berpikir bahwa mereka dapat menjadi benar oleh perilaku mereka, khususnya dengan ketaatan mereka pada hukum Taurat. Mereka membuat kesalahan ini karena mereka tidak mengetahui kebenaran Allah. Jalan kebenaran Allah bukanlah melalui berperilaku yang benar tapi melalui percaya yang benar. Kita tidak berperilaku baik untuk menjadi benar; kita percaya dan kita dibenarkan.

Oleh ketaatan siapa Anda dibuat benar—ketaatan Anda atau ketaatan Dia? Alkitab tidak meninggalkan keraguan bagi kita: “Jadi sama seperti oleh ketidaktaatan satu orang semua orang telah menjadi orang berdosa, demikian pula oleh ketaatan satu orang semua orang menjadi orang benar” (Roma 5:19).

Ia taat; kita percaya—itulah kebenaran Allah. Sudahkah Anda tunduk kepada kebenaran Allah?

-----------------------------------------------------------------------
Sumber: Ken Legg ("Grace Roots", LIGHT PUBLISHING)