Kamis, 21 Juli 2016

Kekristenan itu Utamanya adalah Soal Iman, Bukan Soal Perbuatan!


Sekarang ini saya paling tidak suka kalau membaca/mendengar pernyataan yang isinya kira-kira seperti ini:

Sebagai orang Kristen, yang penting bukan seberapa banyak kita mengimani/mempercayai firman Tuhan, tapi seberapa banyak kita mempraktikkan/melakukannya.

Dulu, memang saya pun pernah ikut-ikutan juga dalam mengemukakan pernyataan yang seperti itu kepada orang2 lain. Tapi sekarang ini, bisa dikatakan, saya sangat "alergi" dengan itu.

Mengapa saya tidak suka dengan pernyataan yang seperti itu?

Sebab pernyataan seperti itu sebenarnya sama saja dengan mengatakan Kekristenan itu adalah (terutama) soal perbuatan, bukan soal iman/percaya. Dan itu tentu saja bertolak belakang secara langsung dengan Injil. Sebab Injil memberitahu kita bahwa Kekristenan itu (utamanya) adalah soal iman/percaya, dan bukan soal perbuatan.

Itulah sebabnya nama/sebutan lain dari orang Kristen adalah ORANG PERCAYA (believer).... bukan "orang perbuatan".

Iya, kan?  :D

----------------------------------------------------------

CATATAN:


  1. Ingatlah, Injil itu adalah BERITA/KABAR (yang BAIK) untuk dipercayai, bukan NASIHAT (yang BAIK) untuk dilakukan. Agamalah yang terdiri dari nasihat2 yang baik. Jangan mengacaukan Injil dengan agama!
  2. Bukan berarti saya mengatakan perbuatan itu tidak perlu bagi orang Kristen. Tentu saja perbuatan itu perlu. Tapi kita tidak perlu berfokus pada perbuatan. Kita harus berfokus pada iman. Sebab iman yang benarlah yang akan menghasilkan perbuatan yang benar, bukan perbuatan yang benar yang akan menghasilkan iman yang benar.

Hal yang Paling Diinginkan oleh Yesus dari Kita


Tahukah anda apa sebenarnya--hal yang paling mendasar/utama--yang diinginkan oleh Yesus dari kita?

Apakah agar kita menyembah-Nya?

Tidak! Bukan itulah yang sesungguhnya sangat Dia inginkan dari kita. Tentu saja Dia adalah Tuhan, dan karenanya Dia patut untuk disembah. Tapi bukan itulah yang paling Dia inginkan dari kita. Sebab untuk itu Dia tidak perlu datang ke dunia, menjelma menjadi manusia, menderita dan mati disalibkan. Iya, kan? Dia toh sudah menjadi Tuhan, sebelum Dia melakukan semuanya itu!

Apakah supaya kita melakukan semua yang diajarkan-Nya?

Tidak. Sebab sekalipun benar bahwa Dia adalah seorang Guru yang Agung dan apa yang diajarkan-Nya semua adalah kebenaran belaka... tapi kebanyakan dari ajaran-ajaran yang diberikan-Nya pada masa itu hanyalah diperuntukkan bagi orang-orang pada masa itu saja. Sebab memang pada masa itu belum ada umat Kristen (dan Perjanjian Baru belum dimulai secara resmi; sebab itu hanya akan dimulai setelah pengorbanan atau pencurahan darah-Nya di salib).

Apakah supaya kita menjadikan Dia sebagai teladan bagi kita?

Tidak. Sebab sekalipun tentunya ada hal-hal dari apa yang pernah dilakukan oleh-Nya (dan itu menggambarkan karakter-Nya yang mulia) bisa menjadi inspirasi (pendorong/penyemangat) bagi kita untuk berbuat hal yang sama. Tapi bukan itulah yang paling Dia inginkan dari kita. Mengapa? Sebab Dia bukanlah yang terutama sebagai teladan bagi kita.

Jadi, apakah yang sangat diinginkan-Nya...?

Yang sangat diinginkan-Nya dari kita hanyalah supaya kita PERCAYA kepada-Nya.

Lalu, apakah yang paling Dia inginkan untuk kita mempercayai-Nya? Bukankah bahwa Dia adalah Tuhan yang patut untuk kita sembah? Atau bahwa Dia adalah Guru Agung yang mengajarkan kebenaran-kebenaran tertinggi untuk kita jalankan? Atau bahwa Dia adalah Sang Teladan Agung yang sudah sepantasnya untuk kita ikuti teladan-Nya?

Bukan.

Yang terutama Dia inginkan untuk kita PERCAYA kepada-Nya adalah bahwa Dialah JURUSELAMAT kita, yang menyelamatkan kita dari DOSA (dan hukumannya), dan menyelamatkan kita ke dalam PERSEKUTUAN YANG KEKAL DENGAN ALLAH. Amin.

Selasa, 19 Juli 2016

Satu-satunya Cara yang Berhasil untuk Menjadi Orang Kristen


Menjadi orang Kristen (yaitu hidup seperti yang diinginkan atau yang dikehendaki oleh Tuhan bagi kita) itu bukan hanya sulit, dan itu juga bukan sangat sulit, tapi... itu mustahil!

Hanya Yesus seorang sajalah yang bisa.

Dan, itu artinya, supaya kita juga bisa menjadi orang Kristen, maka hanya ada satu saja caranya/jalannya (yang bisa kita tempuh) untuk itu, yaitu dengan melalui Yesus.

Apakah artinya itu?

Itu artinya kita tidak bisa menjadi orang Kristen dengan cara yang langsung, tapi hanya bisa dengan cara yang tidak langsung--yaitu, sekali lagi, melalui Yesus.

Ini disebut juga sebagai cara perwalian atau perwakilan. Di sini Yesus bertindak sebagai wakil atau wali bagi kita.

Beginilah cara kerjanya: Untuk semua hal yang harus atau untuk semua hal yang diwajibkan (oleh Tuhan) kepada kita untuk melakukannya (agar kita bisa mencapai ideal kita atau sasaran kita yang tertinggi itu, yaitu memiliki atau menjalani hidup seperti yang diinginkan atau yang dikehendaki oleh Tuhan bagi kita) Yesuslah yang (sudah) melakukannya bagi kita. Dia melakukan semuanya itu sebagai wakil kita atau sebagai pengganti kita (=orang2 yang percaya kepada-Nya). Sehingga, semua yang dilakukan-Nya itu diperhitungkan (oleh Tuhan) kepada kita--seolah-olah kitalah yang tadinya sudah melakukan semuanya itu. Atau, dengan kata lain, (sekarang ini) kita dianggap sebagai orang2 yang sudah melakukan semuanya itu (dengan apa yang sudah dilakukan oleh Yesus bagi kita itu)!

Hanya inilah satu-satunya cara/jalan (yang berhasil!) untuk menjadi orang Kristen. Semua cara/jalan yang lainnya sudah pasti gagal! Begitu.

Syarat untuk Berbuah Bagi Allah: "Mati bagi Hukum Taurat"

"Sebab itu, saudara-saudaraku, kamu juga telah MATI BAGI HUKUM TAURAT oleh tubuh Kristus, supaya kamu menjadi milik orang lain, yaitu milik Dia, yang telah dibangkitkan dari antara orang mati, agar kita BERBUAH BAGI ALLAH." (Roma 7:4)
Ternyata Tuhan tidak menghendaki kita untuk mati hanya bagi hal-hal yang jahat/buruk saja (seperti: daging atau manusia lama, dan dunia), tapi Dia menghendaki kita untuk mati bagi hal yang baik dan suci juga, seperti hukum Taurat. (Di ayat-ayat Alkitab yang lain) hukum Taurat itu juga dikatakan "rohani" dan "berasal dari Allah."

Patut untuk dipertanyakan: Kenapa Tuhan menghendaki supaya kita mati bagi hal yang baik dan rohani seperti hukum Taurat ini?

Jawabannya menurut hemat saya begini: Itu karena bukan hanya hal-hal yang (pada dirinya) jahat/buruk saja yang bisa merusak atau menjadi racun bagi kerohanian kita, tapi hal-hal yang pada dasarnya baik atau rohani sekalipun, tapi kalau itu bukan dimaksudkan untuk kita (orang-orang Kristen), akan bisa merusak (menjadi racun) juga!

Hukum Taurat tadinya diperuntukkan bagi bangsa Israel (umat Yahudi) dan itu dimaksudkan hanya sebagai "penuntun" sampai pada kedatangan Kristus. Dan karena kita sekarang ini sudah berada di dalam Kristus, kita sudah tidak memerlukan hukum Taurat lagi. Memaksakan hukum Taurat untuk berperan lagi di dalam kerohanian kita sebagai orang Kristen, pasti akan membawa akibat-akibat yang merusak ke dalamnya. Jadi, itulah mengapa kita harus mati bagi hukum Taurat.

Kalau kita gagal dalam hal ini atau kita tidak mati bagi hukum Taurat tentunya, seperti yang sudah disebutkan tadi, kerohanian kita akan dirusak--entah apa atau bagaimanapun bentuk dari kerusakan tersebut! Tapi kalau kita benar-benar mati bagi hukum Taurat maka, menurut ayat Alkitab ini, kita akan BERBUAH BAGI ALLAH.

Itu membuat saya berpikir begini tentang orang-orang Kristen yang masih menjalani hidup kerohanian mereka di bawah hukum Taurat: Sekalipun tampaknya mereka itu adalah orang-orang yang taat (kepada hukum-hukum Tuhan), tapi itu hanyalah ketaatan yang semu (dan yang cenderung munafik!) semata. Dan apa yang mereka tampilkan itu tidak lebih hanyalah "buah plastik" belaka!

Mengapa?

Sebab hanya orang-orang yang menjalani hidup kerohaniannya di bawah kasih karunia saja (yaitu yang sudah mati bagi hukum Taurat) yang benar-benar akan menghasilkan BUAH yang sejati bagi kemuliaan Allah.

NB: Perlu juga diperhatikan bahwa soal matinya kita bagi hukum Taurat ini adalah suatu hal yang sudah terjadi pada kita, jadi bukan merupakan suatu hal yang masih perlu untuk kita upayakan (atau meraihnya) lagi. Apa yang diperlukan di sini hanyalah untuk kita melihatnya demikian, yaitu bahwa--di dalam persekutuan dengan Kristus--kita sudah mati bagi hukum Taurat. Itu saja.

Selasa, 05 Juli 2016

Ini Untuk Orang-orang Kristen yang Sok Moralis....


Sering kali orang-orang terlalu lugu... saking lugunya jadi bodoh.

Dikiranya memiliki hidup yang bermoral itu harus dicapai dengan satu cara saja, yaitu dengan berusaha (secara langsung) melakukan hal-hal yang bermoral atau dengan mentaati aturan-aturan moral.

Padahal, kalau ada cara lain (apa lagi kalau cara itu lebih efektif dari cara-cara yang sudah dikenal!), kenapa harus terus ngotot dengan cara-cara yang sudah lazim itu?? (Apa lagi sudah umum diketahui bahwa dengan cara ini belum pernah ada seorang pun yang benar-benar berhasil mencapai sasaran yang diharapkan!). Bukankah seharusnya kita terbuka untuk cara-cara lainnya, yang bisa saja lebih efektif?

Dan cara yang lebih efektif itu adalah dengan berfokus kepada kasih dan penerimaan Tuhan kepada kita, atau menjalani hidup kita dengan kesadaran bahwa (dalam Kristus) Tuhan sudah menerima kita apa adanya kita, dan Dia sangat tergila-gila dalam kasih-Nya kepada kita.

Kalau seseorang menjalani hidupnya dengan cara yang seperti ini...mungkinkah dia akan betah untuk hidup dalam kesalahan/kejahatan/kebejatan...??

Jawabnya: Mustahil!!

Orang itu pasti akan mengalami perubahan secara revolusioner di dalam dirinya... dan kemudian perubahan itu pun akan menjadi nyata juga di dalam kehidupan sehari-harinya (suatu perubahan hidup yang bahkan akan melampaui apa yang dicita-citakan oleh para pejuang moralitas yang paling terdepan!).

Percayalah!

Senin, 04 Juli 2016

"Hyper-Grace" Versus "Mix-Grace"


Apakah perbedaan yang pokok dan paling mendasar antara kaum (yang disebut sebagai penganut) "hyper-grace" dengan pihak yang menentangnya (bisa disebut sebagai penganut "mix-grace")?

Apakah karena yang satu mementingkan 'grace' dan yang lainnya tidak mementingkan 'grace'?

Bukan begitu. Sebab sebenarnya keduanya sama-sama melihat 'grace' itu (sangat) penting.

Tapi, perbedaan yang sesungguhnya itu adalah karena yang satu (penganut "hyper-grace") melihat/menjadikan 'grace' sebagai satu-satunya asas untuk keselamatan dan hubungan kita dengan Tuhan. Sedangkan yang lainnya (penganut "mix-grace") melihat 'grace' hanyalah sebagai salah satu unsur yang (sangat) penting untuk keselamatan dan hubungan kita dengan Tuhan.

Para penganut "mix-grace" akan mengatakan kira-kira seperti yang berikut ini.

"Saya setuju dengan kasih karunia, tapi jangan cuma kasih karunia doang lah! Kasih karunia itu sangat kita perlukan dalam kerohanian kita, tapi tidak cukup kalau hanya kasih karunia saja. Harus disertai juga dengan yang lain-lainnya lagi."

Max Lucado mengungkapkannya begini:
“Bukannya [orang-orang Kristen tertentu...] tidak percaya sama sekali pada kasih karunia. Mereka percaya. Mereka sangat percaya akan kasih karunia. Mereka hanyalah tidak percaya pada kasih karunia sendiri saja [tanpa disertai dengan yang lain-lainnya].”
--WwvvvvvvvvvwW--
“It wasn’t that [certain Christians...] didn’t believe in grace at all. They did. They believed in grace a lot. They just didn’t believe in grace alone.”
~Max Lucado ("Grace: More Than We Deserve, Greater Than We Imagine")

Minggu, 03 Juli 2016

Mengapa Para Pengkhotbah Kasih Karunia Cenderung Memperlawankan HukumTaurat dan Kasih Karunia?

Beberapa orang mempertanyakan begini: Mengapa para pengkhotbah kasih karunia kelihatannya suka sekali memperlawankan antara hukum Taurat dan kasih karunia? Bukankah kedua-duanya itu adalah baik, dan sama-sama berasal dari Tuhan juga? Jadi, kenapa harus diperlawankan?

Saya harus mengatakan bahwa itu adalah sebuah pengamatan yang keliru.

Mengapa?

Sebab sesungguhnya bukan pengkhotbah kasih karunia yang memperlawankan antara hukum Taurat dengan kasih karunia, tapi Tuhan sendiri--di dalam Alkitab--yang membuat perlawanan itu.

Benarkah demikian? Atau, itu hanyalah opini saya semata?

Berikut ini adalah beberapa ayat dari Alkitab yang dengan sangat jelas mengungkapkan tentang hal itu....

"sebab hukum Taurat diberikan oleh Musa, tetapi kasih karunia dan kebenaran datang oleh Yesus Kristus." (Yohanes 1:17)
"Sebab kamu tidak akan dikuasai lagi oleh dosa, karena kamu tidak berada di bawah hukum Taurat, tetapi di bawah kasih karunia." (Roma 6:14)
"Kamu lepas dari Kristus, jikalau kamu mengharapkan kebenaran oleh hukum Taurat; kamu hidup di luar kasih karunia." (Galatia 5:4)

Nah, karena Tuhan sendirilah yang sudah memperlawankan antara kedua hal itu (hukum Taurat dan kasih karunia) di dalam firman-Nya, pengkhotbah kasih karunia tentunya tidak dapat berbuat yang lain di dalam khotbah-khotbah mereka, selain harus berbuat hal yang sama dengan itu, yaitu: Memperlawankan hukum Taurat dan kasih karunia.

Sebab sama seperti kita tidak boleh memisahkan apa yang sudah dipersatukan oleh Tuhan, demikian jugalah kita tidak boleh mendamaikan apa yang sudah diperlawankan oleh Tuhan (mempersatukan apa yang sudah dipisahkan oleh Tuhan).

Jadi, kalau di depan nanti Anda menangkap kesan bahwa para pengkhotbah kasih karunia sangat cenderung sekali untuk memperlawankan antara hukum Taurat dan kasih karunia.... (harusnya) Anda sudah tahu sekarang, bahwa bukan kami (para pengkhotbah kasih karunia) yang membuat "perlawanan" itu. Tuhan sendirilah yang telah memulainya.

Kami hanyalah sekedar mengikuti apa yang sudah dibuat oleh Tuhan sendiri di dalam firman-Nya. Kami hanyalah para pemberita (=pembawa/penyampai beritanya), bukan pembuat beritanya.

Demikian, Harap dimaklumi. Amin.